Jakarta, CNN Indonesia —
Cuaca panas ekstrem yang melanda belakangan bukan hal utama yang ditakutkan warga RI terkait efek perubahan iklim.
Para pakar mengungkap dampak perubahan iklim buntut emisi berbagai gas perusak itu di antaranya adalah cuaca panas ekstrem, kekurangan air atau krisis air bersih, puting beliung, kebakaran hutan, hingga polusi udara.
Namun, sebuah studi mengungkap ternyata panas ekstrem bukan dampak perubahan iklim yang paling ditakuti warga Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Studi yang dilakukan Pusat Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale di Amerika Serikat yang bekerja sama dengan Development Dialogue Asia, Communication for Change, dan Kantar Indonesia menunjukkan kekurangan air jadi masalah yang paling ditakuti warga Indonesia.
Responden mengaku paling cemas terhadap isu lingkungan dengan urutan berikut: kekurangan air (91 persen), badai atau puting beliung (88 persen), kemudian kekeringan (87 persen).
Berikutnya, kebakaran hutan (86 persen), polusi air (85 persen), polusi udara (83 persen), naiknya permukaan air laut (77 persen), dan panas ekstrem (69 persen).
Studi tersebut dilakukan pada periode Juni-Juli 2021 dengan melakukan wawancara terhadap 3,490 orang Indonesia berusia 16 tahun secara nasional di 34 provinsi.
Belum banyak yang tahu pemanasan global
Terlepas dari hal itu, studi tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia hanya mengetahui sedikit mengenai pemanasan global atau bahkan belum pernah mendengarnya.
Sebelum menerima penjelasan mengenai pemanasan global, responden ditanyai seberapa banyak mereka mengetahui tentang pemanasan global.
“Dalam konteks ini, sebagian besar orang Indonesia (76 persen) mengatakan bahwa mereka “sedikit” mengetahui tentang pemanasan global (55 persen) atau “tidak pernah mendengarnya” (20 persen),” demikian mengutip laporan hasil studi.
Sebaliknya, 22 persen orang di Indonesia mengatakan bahwa mereka tahu “sedikit” tentang pemanasan global dan hanya 2 persen yang mengatakan bahwa mereka tahu “banyak” mengenai pemanasan global.
Pendidihan global
Masalah pemanasan global ini sudah menjadi sorotan seluruh dunia. Bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa saat ini Bumi sedang tidak baik-baik saja akibat krisis iklim.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sebuah kesempatan mengatakan saat ini dunia malah berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.
Ia mewanti-wanti “era pemanasan global telah berakhir” dan era pendidihan global telah tiba.”
“Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius, dan menghindari perubahan iklim yang buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung,” kata Guterres.
Pernyataan Guterres muncul setelah para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa bulan Juli 2023 menjadi bulan terpanas dalam sejarah. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus Eropa, temperatur global bulan Juli telah memecahkan rekor.
Fenomena ini dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil sehingga memacu cuaca buruk.
Ilmuwan dari WMO dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa menggambarkan kondisi bulan ini sebagai “insiden luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya”.
“Kami dapat mengatakan bahwa tiga minggu pertama bulan Juli adalah periode tiga minggu terhangat yang pernah diamati dalam catatan kami,” kata Carlo Buentempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Coperniucs.
Menurut dia anomali ini sangat besar sehubungan dengan bulan-bulan lain yang memecahkan rekor, sehingga peneliti yakin bahwa bulan itu, bulan secara keseluruhan akan menjadi Juli terhangat dalam rekor dunia.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)