Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap setiap tahunnya punya kuota 500 kursi aparatur sipil negara (ASN) di lembaganya. Sayangnya, kuota tersebut paling banyak hanya terpenuhi separuh.
“Belum pernah [terpenuhi kuotanya]. Artinya kita memang masih kurang sekali sebenarnya. Paling terpenuhi hanya separuh maksimal, selama ini,” ujar Kepala BRIN Laksana Tri Handoko di Kantor BRIN, Jakarta, Selasa (5/9).
Meski demikian, Handoko menyebut program ini akan tetap diteruskan, karena angka tersebut mungkin akan meningkat ke depannya.
“Tapi kita teruskan dengan Menpan RB, karena ini kan political will negara ini untuk menunjukkan kita ada. Karena kita enggak tahu kan tahun ini, tahun depan akan ada berapa yang akan pulang,” terang Handoko.
“Daripada dia berkeliaran di mana-mana, di negara lain, sayang,” tambahnya.
Ia pun berharap 500 posisi ASN dengan kualifikasi S3 ini bisa menjadi opsi karier untuk para peneliti tanah air yang berada di luar negeri.
“Minimal sekarang diaspora punya pilihan bahwa kalau saya balik ke Indonesia ada tempat yang bisa menerima di mana saya bisa bekerja sesuai passion dan kapasitas saya,” kata Handoko.
Sebelum kebijakan ini diluncurkan, para peneliti yang menuntut ilmu di luar negeri kerap kesulitan mencari tempat berkarir di tanah air.
Menurut Handoko, salah satu opsi yang tersedia adalah menjadi akademisi di kampus, namun feedback ekonomi yang didapatkan para peneliti ini rasanya kurang memotivasi.
“Ya sulit kan cari kerjaan yang sesuai. Ya ada sih bisa masuk kampus, tapi kan dibayar mungkin hanya Rp7 juta, Rp6 juta. Kan kasihan. Enggak memotivasi dia. Kalau di BRIN kan dia bisa langsung hampir Rp20 juta,” tuturnya.
Sebelumnya, sejumlah diaspora mengaku ogah pulang dan berkarier di Indonesia lantaran isu birokrasi dan lembaga.
“Mungkin saya bisa berkontribusi kepada Indonesia kalau saya enggak di Indonesia, saya enggak mengenal birokrasi di Indonesia. Mungkin kalau saya kembali ke Indonesia, saya enggak bisa melakukan apa-apa,” kata Periset kecerdasan buatan (AI) diaspora Indonesia di Jepang, Pitoyo Hartono, di kantor BRIN, Jakarta, Rabu (30/8).
Senadam Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro juga tak menganjurkan para peneliti yang berkarier di luar negeri untuk pulang ke Indonesia lantaran ekosistem riset di dalam negeri terbilang labil.
“Kasihan, enggak akan berkembang mereka (peneliti). Karena lingkungan [riset] sudah pasti, tidak menunjang,” cetusnya, Rabu (9/8).
“Mereka dari pada pulang mendingan tinggal di sana aja supaya ilmunya berkembang terus, risetnya semakin maju, siapa tahu mendapat hadiah Nobel (penghargaan buat ilmuwan berbagai bidang paling prestisius),” tandas dia.
[Gambas:Video CNN]
(lom/arh)