Jakarta, CNN Indonesia —
Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengaku menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga Polri untuk mencegah kebocoran data pinjaman online atau pinjol yang makin populer.
“Harus dilihat apakah pinjol itu terdaftar atau tidak, harus dilihat regulasinya. Setelah itu apakah ada delik pidana, makanya kerjasama dengan Polri,” kata Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Ariandi Putra di Jakarta, Selasa (24/10).
Ariandi menjelaskan peran BSSN sebatas memantau dinamika yang berkaitan dengan pinjol. Soal penegakan hukum, itu merupakan ranah kepolisian.
“BSSN akan mengirim rekomendasi kepada Kominfo dan Polri,” ucapnya.
Pihaknya juga berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pemberi izin operasional perusahaan kredit untuk memperkuat sistem elektronik perbankan.
“Tentu bekerjasama [dengan OJK]. Kami mengamankan juga sistem perbankan. Jadi sudah tugas kami melindungi salah satunya perbankan. Dengan OJK juga kami melihat berbagai kemungkinan untuk memperkuat sistem elektroniknya,” kata dia.
Kebocoran data dari sektor pinjol sempat terjadi pada Januari 2022. Saat itu, pemilik akun di situs pembocor data yang kini sudah ditutup Raid Forum, RafRR, mengunggah 12 juta data pelanggan pinjol.
Unggahannya memang tidak menyebutkan nama perusahaan pinjol. Meski begitu, sampel data yang diunggah menunjukkan informasi nama lengkap, nomor ponsel, dan alamat lengkap.
Sejauh ini, pinjol digandrungi banyak warga saat butuh uang (BU) meski banyak masalah di kemudian hari, terutama dalam hal penagihan.
Lewat laporan survei bertajuk “Unveiling Indonesia’s Financial Evolution: Fintech Lending and Paylater Adoption”, firma riset Populix mengungkap 41 persen responden mengaku pernah menggunakan pinjol.
Para debitur pinjol ini didominasi oleh kaum laki-laki dan generasi milenial di pulau Jawa. Sebanyak 66 persen responden menggunakan pinjol kurang dari sebulan sekali, dan mayoritas (70 persen) bergantung pada satu aplikasi, terbanyak Akulaku (46 persen) dan Kredivo (43 persen).
“Namun, survei kami juga menunjukkan bahwa 49 persen responden mengaku tidak memahami peraturan yang berlaku terkait aktivitas pinjol,” kata Timothy Astandu, Co-Founder dan CEO Populix, dalam siaran pers.
“Maraknya pengadopsian pinjol yang tidak dibarengi dengan pemahaman seputar regulasi ini menjadi alarm penting bagi para pemangku kepentingan, karena tanpa literasi keuangan yang memadai, masyarakat riskan terjebak dalam aplikasi ilegal dan kredit macet,” lanjutnya.
Populix juga mengungkap pinjol tersebut paling banyak digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga (51 persen), modal bisnis (41 persen), membeli perlengkapan pendukung pekerjaan (25 persen), dana pendidikan (23 persen), gaya hidup dan hiburan (22 persen), dan kesehatan (13 persen).
[Gambas:Video CNN]
(ikw/arh)