Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari ini, Selasa (26/9/2023) meluncurkan Bursa Karbon Indonesia di Gedung BEI, Jakarta. Hal ini menyusul ancaman perubahan iklim yang kian terasa, mulai dari kenaikan suhu bumi, kekeringan, hingga polusi udara.
Secara sederhana, perdagangan karbon atau bursa karbon ini adalah jual beli kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Perusahaan yang mampu menekan emisi dapat menjual kredit karbon ke perusahaan yang melampaui batas emisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jokowi optimis Bursa Karbon Indonesia akan menjadi langkah konkret untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC). NDC merupakan kontribusi nasional yang ditetapkan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni 29% tanpa syarat dan 41% bersyarat.
Jokowi meminta Bursa Karbon Indonesia menjadikan standar karbon internasional sebagai rujukan. Ia mengimbau agar transaksi dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, sehingga lebih efektif dan efisien.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan Bursa Karbon Indonesia akan menggunakan teknologi blockchain.
“Penyelenggaraan bursa karbon akan diawasi langsung oleh OJK dengan teknologi blockchain dan menggunakan unit karbon berkualitas, yang dijalankan bertahap dimulai dari pasar dalam negeri dan akan dikembangkan ke perdagangan pasar karbon luar negeri, serta sebagai karbon market regional hub,” kata Luhut, usai peluncuran Bursa Karbon Indonesia.
Selama ini, teknologi blockchain lebih dikenal sebagai tulang punggung mata uang kripto. Konsep blockchain sendiri merupakan mekanisme berbasis data lanjutan, di mana data disimpan dalam blok yang dihubungkan bersama dalam sebuah rantai.
Tujuan dari penerapan teknologi blockchain adalah transparansi data, sehingga informasi dapat diakses secara terbuka dalam suatu jaringan bisnis.
“Bapak Presiden mengatakan kita harus menjadi market regional hub agar tersedia unit karbon sesuai standar internasional, dan kita bekerja dengan standar internasional. Perlu percepatan pengaturan mutual recognition agar proses berjalan cepat,” Luhut menjelaskan.
Lebih lanjut, Luhut mengatakan potensi Indonesia untuk masuk ke perdagangan karbon luar negeri pada pasar sukarela atau Voluntary Carbon Market (VCM). VCM merupakan tempat perorangan, badan usaha, atau aktor lainnya untuk melakukan jual-beli kredit karbon di luar mekanisme pasar karbon yang diwajibkan pemerintah.
“[VCM] memiliki potensi besar seperti pihak Amazon Web Services, khusus indonesia telah berkomitmen untuk meluncurkan investasi termasuk pembelian karbon VCM sebesar US$ 5 miliar,” Luhut menjelaskan.
“The Rockefeller Foundation, The Bezos Earth Fund membentuk akselerator transisi energi yang berkolaborasi dengan World Bank. Mereka menyediakan US$ 4,5 miliar khusus untuk mendukung negara berkembang. Ini bisa memonetisasi kredit karbon dalam bentuk pendanaan karbon,” ia menambahkan.
Luhut mengatakan mekanisme VCM ini merupakan hal baru yang masih berkembang dalam pengaturan internasional. Beberapa negara yang punya sumber daya seperti China, Malaysia, Brasil, sudah membuka VCM ini.
“Indonesia harus bisa memanfaatkan kesempatan yang ada karena tidak hanya mengandalkan APBN. Kami mau menggarisbawahi bahwa kita akan bekerja sama dengan negara maju,” dia memungkasi.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Anies Kritik Jokowi, Ini Cara Lihat Kondisi Jalan Zaman SBY
(fab/fab)