Jakarta, CNN Indonesia —
Beberapa hari belakangan, cuaca panas terik sangat menyengat di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Apa penyebabnya?
Panas terik itu dirasakan terutama saat tengah hari tanpa hujan, yang kadang muncul sesaat akibat Tekonologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Berdasarkan catatan AccuWeather, suhu maksimum harian di ibu kota memang terus menerus di atas 30 derajat Celsius setidaknya sepekan terakhir. Berikut rinciannya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
17 September: 34 derajat C
18 September: 33 derajat C
19 September: 34 derajat C
20 September: 34 derajat C
21 September: 33 derajat C
22 September: 35 derajat C
Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengungkapkan ada sejumlah faktor yang memicu cuaca panas kian menyengat belakangan ini. Berikut rinciannya:
Awan dan angin
Menurut Guswanto, kondisi panas ini dipengaruhi oleh tutupan awan. Jjika Jabodetabek miskin awan, sinar Matahari yang diterima juga akan semakin terik karena tidak ada halangan berarti.
“Bergantung pada kondisi tutupan dan kecepatan angin,” kata dia kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
“Kondisi paling terik/tidak nyaman terjadi ketika tutupan awan minim dan kecepatan anginnya relatif rendah,” lanjut dia.
Merujuk Ikhtisar Cuaca Harian BMKG per Sabtu (23/9), pertumbuhan awan hujan lebih cenderung meningkat di Sumatera bagian utara dan tengah, sedikit Kalimantan bagian utara, serta Papua Barat dan Papua bagian tengah.
Sementara, wilayah sebelah selatan khatulistiwa, terutama Jawa hingga Nusa Tenggara, minim awan.
“Penurunan suhu siang hari akan terjadi ketika tutupan awan juga mulai meningkat, di mana diprakirakan pada Oktober nanti kondisi atmosfernya akan relatif lebih lembap meskipun masih minim hujan,” ujar Guswanto.
Angin monsun Australia
BMKG sebelumnya juga mengungkap saat ini sebagian besar RI, terutama bagian selatan khatulistiwa termasuk Jawa, masih dilanda musim kemarau.
Peralihan ke musim hujan kebanyakan baru terjadi pada November saat angin monsun dari Australia berganti angin monsun dari Benua Asia.
“Awal musim hujan umumnya berkaitan erat dengan peralihan angin timuran atau angin dari arah Australia atau disebut monsun Australia beralih menjadi angin baratan atau monsun Asia, yaitu angin yang berasal dari arah benua Asia,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam konperensi fers daring, beberapa waktu lalu.
Menurut Guswanto, angin monsun Australia yang membuat minimnya awan-awan di bagian selatan Indonesia. Ketika tak ada awan, otomatis sinar Matahari diterima langsung tanpa halangan berarti.
“Suhu tinggi pada wilayah Indonesia bisa juga disebabkan oleh dominasi angin timuran akibat monsun Australia yang menguat,” bebernya.
“Hal ini menyebabkan kondisi atmosfer di wilayah Indonesia bagian selatan menjadi lebih kering dari wilayah lain sehingga menyebabkan minimnya tutupan awan [kondisi cuaca cerah],” jelas Guswanto.
El Nino
Fenomena El Nino juga disebut-sebut sebagai salah satu faktor mengapa cuaca kian panas belakangan ini. El Nino adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik yang memicu penurunan curah hujan global.
Menurut Guswanto fenomena ini diprediksi bertahan hingga akhir 2023.
“Berdasarkan analisa hasil monitoring BMKG, indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) pada bulan ini menunjukkan kondisi El Nino moderat, yang nilainya lebih tinggi daripada bulan-bulan sebelumnya, dan diprediksi terus bertahan hingga akhir tahun 2023,” ujar dia.
Merujuk data BMKG, per Sabtu (23/9), El Nino masuk dalam kondisi moderat dengan Southern Oscillation Index (SOI) -16,9 dan Indeks NINO 3.4 +1,39, naik dari angka pekan lalu masing-masing -13,1 dan +1,35.
Sejak jauh-jauh hari, BMKG mengungkap dampak El Nino di Tanah Air umumnya terasa kuat pada musim kemarau, yakni pada bulan-bulan Juli – Agustus – September – Oktober.
Dampaknya berupa penurunan curah hujan terutama di bagian selatan RI, yakni Sumatera bagian tengah hingga selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku, dan Papua bagian selatan.
Ekuinoks
Guswanto turut mengungkap pengaruh posisi Matahari yang berada di dekat khatulistiwa atau ekuinoks.
Ekuinoks merupakan fenomena astronomi terkait posisi titik semu Matahari yang melintasi khatulistiwa atau ekuator. Efeknya adalah durasi siang dan malam hampir sama, yaitu sekitar 12 jam masing-masing di atas wilayah yang dilaluinya.
Fenomena ini dapat terjadi dua kali dalam satu tahun, yaitu sekitar tanggal 21 maret dan 23 September setiap tahunnya.
“Saat fenomena ini berlangsung, Matahari dengan Bumi memiliki jarak paling dekat dengan Bumi, sehingga wilayah tropis di sekitar ekuator (khatulistiwa) mendapatkan penyinaran Matahari maksimum,” jelas Guswanto.
Kendati begitu, Guswanto menegaskan fenomena ini tak melulu membuat peningkatan suhu udara secara drastis atau ekstrem. Ada sejumlah faktor lain yang membuat cuaca makin panas.
“Faktor-faktor lain seperti kecepatan angin, tutupan awan, dan tingkat kelembapan udara memiliki dampak yang lebih besar terhadap suhu di suatu wilayah,” jelas dia.
“Tidak ada perubahan suhu maksimum di Indonesia yang besar saat fenomena ekuinoks terjadi, biasanya kisaran 32-36 derajart Celsius,” tandasnya.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)