Jakarta, CNBC Indonesia – Jakarta sedang dilanda polusi udara tingkat tinggi dan terus-menerus, dengan rata-rata tingkat PM2.5 melebihi pedoman WHO yaitu sekitar 7 kali lipat. Polusi udara di Jakarta ternyata berasal dari berbagai macam sumber.
Polusi udara ini tak kunjung hilang, meskipun langkah kebijakan untuk menguranginya sudah dilakukan. Misalnya memberlakukan work from home (WFH) bagi sebagian aparatur sipil negara (ASN) pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun, ternyata kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi volume lalu lintas, tidak menghasilkan penurunan tingkat PM2.5 secara nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengatakan, pengurangan perjalanan dan mengemudi secara lokal tidak menyelesaikan masalah polusi udara di Jakarta.
Sejak 28 Agustus, PLN mengurangi operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit tapi kita ketahui polusi di Jakarta justru makin tinggi Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra
“Akar permasalahan polusi udara di Jakarta tidak bisa direduksi hanya pada satu sumber saja, seperti perjalanan pulang-pergi. Misalnya, tidak ada penurunan polusi yang terukur selama WFH,” kata analis CREA Katherine Hasan, dalam keterangan pers, dikutip Kamis (31/8/2023).
Tingkat polusi sangat berkorelasi dengan model semburan emisi buang berbagai PLTU batu bara yang mencapai Jakarta. “Kami (CREA) telah mengidentifikasi selusin pembangkit listrik tenaga batu bara di sekitar Jakarta, yang berlokasi di Banten dan Jawa Barat,” kata Katherine
“Analisis kami terhadap episode polusi udara di Jakarta baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat polusi meningkat ketika angin bertiup dari lokasi yang memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara,” imbuhnya.
Untuk itu, daripada terlalu berfokus pada penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua di Jakarta, pemerintah harus mengatasi sumber utama polusi secara sistematis di tingkat daerah.
“Polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber dan harus ditangani lintas provinsi, mulai dari dengan penegakan standar emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, industri dan transportasi, dan pada akhirnya koordinasi antar provinsi dan nasional untuk mengatasi semua pencemar utama.” pungkasnya.
Namun, penurunan operasi PLTU di sekitar Jakarta juga terbukti tak berdampak besar kualitas udara di DKI Jakarta. Dalam kunjungan ke PLTU Suralaya di Cilegon, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menyatakan PLTU Suralaya bukan penyebab utama polusi di Jakarta.
“Berdasarkan kondisi polusi Jakarta yang belum berubah setelah beberapa hari PLTU Suralaya mengurangi operasinya dan dari paparan yang dilakukan oleh Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Puji Lestari yang menghitung dampak polusi dari PLTU, dilaporkan bahwa PLTU Suralaya bukan sumber polusi di Jakarta,” ujar Sugeng.
Polusi walau PLTU dimatikan
PLTU Suralaya 1, 2, 3, dan 4 dimatikan pada 29-31 Agustus 2023. Pada saat itu, PM2.5 di area Jakarta malah menanjak dari 76, ke 90,4 menjadi 110,8. Sebelumnya PLTU Suralaya 1 juga telah dimatikan selama 19-28 Agustus. Pada periode tersebut tingkat PM2.5 area Jakarta juga masih ada di kategori tidak sehat atau “kuning” dengan PM2.5 tertinggi terjadi pad 27 Agustus 2023.
“Dari hasil kunjungan, kami melihat pembangkit ini (Suralaya) telah memenuhi kaidah yang diidealkan. Angka emisi masih di bawah standar baku mutu. Kemudian dibuktikan juga dengan adanya penghargaan proper emas dan penghargaan internasional,” ujar Sugeng.
Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra mengatakan operasional PLTU Suralaya telah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Pihaknya bahkan melakukan pengurangan operasional PLTU saat awal disebut sebagai kontributor polusi Jakarta.
“Sejak 28 Agustus, PLN mengurangi operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit atau sebesar 1.600 Megawatt (MW) tapi kita ketahui polusi di Jakarta justru makin tinggi,” ungkapnya.
Pihaknya juga telah melakukan berbagai upaya untuk terus menurunkan emisi dari operasional pembangkitnya. Edwin menjelaskan, PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan teknologi Electrostatic Precipitator (ESP) yang akan menyaring debu sisa pembakaran sampai ukuran terkecil di bawah 2 micrometer dan Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk mengendalikan polutan NOx dan SOx.
“Di sisi pengawasan emisi, PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) untuk memastikan emisi gas buang dari operasional tetap di bawah ambang batas yang ditentukan. Di sini bisa dilihat, PLN menerapkan sistem digital untuk mengelola seluruh pembangkit kami. Monitoring sistem pembangkit membuat operasional semakin efektif dan efisien,” ujar Edwin.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Beda sama Anies, Bos Startup: Mobil Listrik Harus Banyak
(fab/fab)