Jakarta, CNN Indonesia —
Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap tiga fenomena yang terjadi bersamaan yang membuat bulan ini bakal jadi salah satu puncak kekeringan 2023.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi BMKG Urip Haryoko menuturkan puncak kekeringan itu diprediksi terjadi pada September dan Oktober.
“Jika puncak yang dimaksud adalah periode kering sebagai dampak El Nino di Indonesia, maka akan dirasakan pada bulan bulan September – Oktober,” ujar dia, dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena periode tersebut merupakan puncaknya musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia,” lanjut dia.
Pada bulan yang sama, berdasarkan prediksi curah hujan bulanan BMKG, beberapa wilayah akan mengalami curah hujan bulanan dengan kategori rendah (0 – 100 mm/bulan), utamanya pada Agustus – September – Oktober.
Wilayah-wilayah itu, meliputi Sumatera bagian tengah hingga selatan, pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
Berikut faktor-faktor utama pengering Indonesia yang berlangsung bulan ini:
El Nino
El Nino merupakan anomali suhu di Samudera Pasifik yang memicu penurunan curah hujan secara global, termasuk di Indonesia.
Menurut keterangan BMKG, dampak El Nino tergantung pada intensitas El Nino, durasi El Nino, dan musim yang sedang berlangsung.
“Dampak El Nino di Indonesia umumnya terasa kuat pada musim kemarau yaitu pada bulan-bulan Juli – Agustus – September – Oktober.”
Dikutip dari Ikhtisar Cuaca Harian BMKG yang terakhir diperbarui, El Nino sudah tergolong moderat meski dampaknya tidak signifikan.
Ini terlihat dari beberapa indeks yang menunjukkan kualitas El Nino; Southern Oncillation Index (SOI) mencapai -9.5, Indeks NINO 3.4 mencapai +1.27.
Kemarau
Periode puncak El Nino 2023 itu banyak beririsan dengan puncak musim kemarau.
BMKG sempat memprediksi puncak musim kemarau 2023 di sebagian besar wilayah terjadi pada Juli dan Agustus 2023 dengan 507 zona musim (ZOM) atau 72,53 persen RI mengalaminya.
“Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan kewaspadaan pada bulan-bulan tersebut. Terlebih lagi, ada banyak wilayah di Indonesia yang akan memasuki puncak musim kemarau pada bulan-bulan tersebut,” kata pernyataan lembaga.
Ekuinoks
Faktor ‘pengering’ lainnya adalah posisi Matahari yang akan berada di sekitar ekuator atau khatulistiwa jelang akhir tahun. Puncaknya berupa fenomena ekuinoks.
“Pada saat yang bersamaan, bulan September-Oktober juga Matahari secara siklusnya akan kembali berada di sekitar ekuator, pada periode tersebut radiasi matahari yang diterima oleh Indonesia akan maksimum,” lanjut Urip.
“Maka tidak heran nanti pada bulan Oktober kita akan mendapatkan laporan suhu udara panas,” ujar dia.
Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ekuinoks merupakan fenomena ketika Matahari melintasi ekuator atau garis khatulistiwa. Efeknya, durasi siang dan malam di belahan Bumi selatan dan utara seimbang.
BRIN menyebut ekuinoks terjadi pada 23 September pukul 08.30 WIB/09.30 WITA/10.30 WIT. Saat fenomena ini terjadi, jarak Matahari-Bumi mencapai 150.147.520 km.
Lawannya adalah solstis (solstice), yakni fenomena ketika Matahari melintasi garis balik utara maupun selatan.
Kedua fenomena itu disebabkan oleh Bumi yang berotasi secara miring terhadap ekliptika sekaligus mengorbit Matahari. Dampaknya di antaranya adalah pergantian musim di negara-negara subtropis dan lintang tinggi.
(tim/arh)