Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan efek krisis iklim, berupa kenaikan suhu rata-rata dunia, bukan dongeng. Berikut rangkaian krisis lanjutannya.
Krisis iklim, yang dipicu aktivitas manusia, menjadi masalah global yang tak kunjung usai. Alih-alih membaik, dampaknya malah tampak semakin nyata. Pasalnya, manusia terus memakai bahan bakar fosil dan semakin masif, seperti batu bara, minyak, dan gas.
Bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang mengumpul di atmosfer bumi. Emisi gas rumah kaca ini kemudian menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu udara di bumi.
BMKG pun mengungkap sejumlah efek nyata krisis iklim, berikut daftarnya:
Krisis panas
Kekeringan menjadi masalah besar yang terjadi di Tanah Air pada 2023. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut cuaca panas yang dialami Indonesia tahun ini, juga menyerang banyak tempat di seluruh belahan dunia, bahkan 2023 menjadi tahun penuh rekor temperatur.
“Tahun ini (2023) adalah tahun penuh rekor temperatur. Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya, di mana heatwave (gelombang panas) terjadi banyak tempat secara bersamaan. Juli 2023 lalu, heatwave yang melanda Amerika Barat bahkan mencapai 53 derajat Celsius,” ujar Dwikorita dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Yayasan Perspektif Baru, dikutip dari laman BMKG.
Dwikorita mengatakan Juni hingga Agustus merupakan tiga bulan terpanas sepanjang sejarah dan bulan Juli 2023 menjadi bulan paling panas. Hal ini menjadikan tahun 2023 berpeluang menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan 2016.
Menurut Dwikorita, situasi ini terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim yang juga memberi tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka dan menghasilkan apa yang dikenal dengan water hotspot.
Kondisi tersebut juga semakin meningkatkan kerentanan terhadap stok pangan dunia.
Krisis ekonomi
Selain kekeringan, Dwikorita juga menyebut perubahan iklim berdampak serius pada perekonomian seluruh negara termasuk Indonesia.
Masalah perekonomian tersebut juga berpotensi membuat dunia mengalami bencana kelaparan. Prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut pada 2050 dunia berpotensi mengalami bencana kelaparan.
“Hal ini terjadi secara global tidak peduli di negara berkembang atau negara maju. Jadi itulah sebabnya kita mengalami El Nino tahun ini, kita memiliki masalah kekurangan beras,” kata Dwikorita dalam acara Federation of ASEAN Economists Association (FAEA 46) Conference, Yogyakarta, Sabtu (17/11), dikutip dari laman BMKG.
Melihat bagaimana dampak buruk perubahan iklim bagi perekonomian, Dwikorita menyebut sudah sepatutnya kini seluruh negara termasuk Indonesia mengubah gaya hidup yang mengandalkan energi fosil menjadi energi ramah lingkungan.
Pasalnya, jika budaya ini tidak diubah, maka prediksi pertengahan abad ini dunia akan mengalami masalah ketahanan pangan akan benar-benar terjadi.
ASEAN dan Indonesia disebut masuk kategori sebagai wilayah rentan terhadap ketahanan pangan dan masuk ke dalam level di luar moderat.
Indikasi terburuknya, jika terjadi krisis pangan maka dapat dipastikan akan terjadi krisis ekonomi dan politik di dalam negeri.
Krisis pangan
Krisis pangan menjadi masalah berikutnya yang perlu dihadapi dunia akibat dari krisis iklim.
Maka dari itu, Dwikorita menyebut sudah selayaknya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh negara ASEAN diiringi komitmen kebijakan terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Perubahan iklim yang terjadi saat ini membawa dampak serius bagi perekonomian seluruh negara, tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ketahanan pangan,” katanya di FAEA 46.
Dwikorita menambahkan ancaman krisis pangan pada akhirnya akan merembet dan berdampak pada krisis lainnya termasuk ekonomi dan politik sehingga mengganggu stabilitas dan keamanan negara.
Oleh karena itu, kata dia, sebelum terlambat maka berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan.
Krisis air
Cuaca panas yang terjadi pada 2023 telah membuat sumber daya air langka, padahal air adalah salah satu kebutuhan utama masyarakat.
Dwikorita menyebut perubahan iklim memberi tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka dan menghasilkan apa yang dikenal dengan water hotspot.
Dikutip dari Phys, studi yang dilakukan para ilmuwan dari Pusat Penelitian Gabungan (JRC) Komisi Eropa, 2018, mengungkap persaingan mendapatkan sumber daya air yang terbatas dapat menimbulkan atau memperburuk ketegangan politik, ketidakstabilan regional, dan kerusuhan sosial.
[Gambas:Video CNN]
(lom/dmi)