Cerita Proses Panjang Studi Nyamuk Wolbachia di RI, Hasilnya Konkret


Jakarta, CNN Indonesia —

Peneliti Pusat kedokteran Tropis UGM Adi Utarini mengungkap penggunaan nyamuk Wolbachia sebagai salah satu solusi pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) bukan baru kemarin sore.

Proses panjang mulai dari uji perangkap nyamuk di rumah warga Yogyakarta hingga mendapatkan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah dilalui bertahun-tahun.

Adi Utarini yang akrab disapa Uut mengaku dirinya tidak terlibat sejak awal di program yang dimulai pada 2011 tersebut. Uut sendiri baru bergabung di penelitian nyamuk Wolbachia pada 2013.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta, penelitian ini bekerja sama dengan Monash University, Australia dan Yayasan Tahija.

Uut bercerita penelitian soal bakteri Wolbachia telah dimulai puluhan tahun lalu. Bakteri ini bahkan telah ditemukan hampir 100 tahun lalu, tepatnya pada 1924.

Namun, baru pada tahun 2000-an bakteri ini diketahui dapat mencegah transmisi virus penyakit dari nyamuk Aedes aegypti. Dimulai di Australia, Indonesia menjadi salah satu negara yang turut meneliti nyamuk Wolbachia dalam rangka menurunkan penyebaran penyakit yang disebabkan nyamuk tersebut.

Sebagai informasi, selain DBD, nyamuk Aedes aegypti juga menjadi sumber penyebaran virus demam kuning, virus chikungunya, dan virus Zika.

Seperti penelitian pada umumnya, masa awal penelitian nyamuk Wolbachia dihabiskan di laboratorium. Namun, para peneliti juga turut mengedukasi masyarakat dengan melibatkan mereka dalam proses penelitiannya.

Para peneliti mengumpulkan sampel nyamuk Yogyakarta dengan menyimpan perangkap-perangkap di rumah warga sembari mengedukasi masyarakat tentang apa yang sedang mereka lakukan untuk memberantas DBD.

Menurutnya, pendekatan semacam ini penting agar masyarakat bisa menerima metode pemberantasan nyamuk yang baru ini.

Pasalnya, pihaknya akan melepaskan nyamuk di masyarakat yang akan kontradiktif dengan kampanye pemberantasan nyamuk yang selama ini diketahui masyarakat.

Penerimaan butuh waktu

Para peneliti juga mengedukasi masyarakat terkait DBD agar mereka mengerti apa yang harus dilawan untuk menangani penyebaran penyakit tersebut.

“Yang kami lawan dengan Wolbachia ini virusnya, bukan hanya nyamuknya. Kalau mereka memahami adalah virusnya, maka kemudian mereka bisa menerima kita melakukan pelepasan nyamuk karena nyamuk ini sudah ada Wolbachia yang itu nanti perannya menghambat virus dengue,” ujar Uut kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telpon, Selasa (21/11).

“Kalau program selama ini kan mematikan nyamuk atau mengurangi sarang nyamuk. Tapi kan masyarakat tahu itu sulit dilakukan di negara tropis. Sehingga mereka paham nyamuk yang dilepas ini “nyamuk aman,” tambahnya.

Penerimaan masyarakat lewat edukasi dan sosialisasi perlahan ini, menurut Uut, adalah salah satu lompatan besar yang didapat para peneliti selama proses penelitian berlangsung.

Dengan demikian, mereka bisa melepas nyamuk Wolbachia pada 2014 di dua dukuh di Sleman dan dua dukuh di Bantul.

Selain masyarakat, dukungan dari stakeholder juga menjadi hal yang penting dalam penelitiannya.

“Pelepasan ini bisa terjadi ketika masyarakatnya sudah siap, sudah teredukasi, dan percaya pada yang melakukan. Lalu stakeholdernya juga mendukung,” tutur Uut.

Proses penelitian dan analisis berlangsung selama dua tahun sembari sosialisasi dan edukasi juga turut dilakukan untuk misi yang lebih besar, yakni melepas nyamuk Wolbachia di area yang lebih luas.

Setelah bermukim dua tahun di Bantul dan Sleman, nyamuk Wolbachia akan memulai kerjanya di area yang lebih luas.

Pada 2016, nyamuk Wolbachia bekerja memberantas penyebaran DBD di wilayah yang lebih luas.

Uut sangat bersyukur proses penelitian dengan skala besar ini bisa berjalan dengan lancar, lagi-lagi berkat penerimaan yang baik oleh masyarakat. Padahal ada area yang menerima nyamuk Wolbachia dan ada yang menerima nyamuk Wolbachia.

Menurutnya, keterbukaan pada masyarakat menjadi hal yang penting karena tidak mungkin para peneliti melakukan pelepasan nyamuk yang melibatkan publik secara diam-diam.

Alhasil, keterbukaan dan edukasi yang dilakukan para peneliti membuat masyarakat paham, bahkan menurut Uut, beberapa di antaranya merasa bangga bisa terlibat dalam penelitian.

“Ini tuh masih penelitian, masyarakat harus tahu. Dan mereka bangga mereka jadi bagian penelitian,” katanya.

“Sehingga ketika dilakukan pelepasan di skala luas, masyarakat bisa menerima bahwa ada yang dapat teknologi Wolbachia, ada yang saat itu masih menjadi pembanding. Itu mereka paham,” imbuhnya.

Analisis dan evaluasi Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di Yogyakarta berlangsung selama 4 tahun hingga 2020.

Infografis Agar Rumah Dibenci Nyamuk. (Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia)

Hasilnya, nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen dan menurunkan kasus rawat inap karena dengue sebesar 86 persen.

Studi ini dan hasil aplikasi di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi World Mosquito Program (WMP) berbuah manis. Pada 2021, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group.

Di Indonesia sendiri, pemerintah RI melalui Kementerian Kesehatan akan mengaplikasikan teknologi ini di sejumlah kota.

Sebagai permulaan, nyamuk wolbachia itu bakal disebar di lima kota yakni Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

[Gambas:Video CNN]

(lom/arh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *