Jakarta, CNN Indonesia —
Bulan purnama super atau supermoon biru bakal tiba akhir bulan ini dengan warna cahaya yang tak benar-benar biru. Lalu, apa warna satelit Bumi itu yang sesungguhnya?
Jika dilihat dari Bumi, warna Bulan terkadang bisa berubah-ubah. Bisa berwarna kuning, ungu kebiru-biruan, hingga warna abu-abu.
Ternyata, menurut Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), warna Bulan “tergantung pada malam.” Di luar atmosfer Bumi, Bulan yang gelap dapat bersinar karena pantulan cahaya Matahari, tampak berwarna abu-abu kecokelatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dilihat dari dalam atmosfer Bumi, Bulan bisa tampak sangat berbeda.
Foto utama artikel ini menyoroti kumpulan warna bulan purnama yang tampak dan didokumentasikan oleh seorang astrofotografer selama lebih dari 10 tahun dari berbagai lokasi di Italia.
Bulan berwarna merah atau kuning biasanya mengindikasikan bulan yang terlihat di dekat cakrawala. Di sana, sebagian cahaya biru telah dihamburkan oleh jalur yang panjang melalui atmosfer Bumi, kadang-kadang sarat dengan debu halus.
Bulan berwarna biru lebih jarang terjadi dan dapat mengindikasikan bulan yang terlihat melalui atmosfer yang membawa partikel debu yang lebih besar. Apa yang menyebabkan bulan berwarna ungu masih belum jelas, mungkin kombinasi dari beberapa efek, mengutip NASA.
Foto terakhir menangkap gerhana bulan total pada bulan Juli 2018, ketika Bulan, dalam bayangan Bumi, tampak berwarna merah redup akibat cahaya yang dibiaskan melalui udara di sekitar Bumi.
Kandungan logam
Pada 2005, dikutip dari BBC, Teleskop Hubble mencitrakan salah satu wilayah kawah Bulan, Aristarchus, dalam cahaya visual dan ultraviolet.
Jika dibandingkan dengan data fotometrik sampel tanah Apollo 15 dan Apollo 17 yang diketahui unsur kimianya, kawah Aristachus ditemukan memiliki konsentrasi kaca yang tinggi di dalam tanahnya.
Area ini memiliki warna kebiruan yang agak putih yang jelas. Sementara, biru yang lebih tua terlihat jelas di permukaan kompleks Procellarum.
Analisis pencitraan jarak jauh NASA mengungkapkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan titanium yang kaya di bawah permukaan yang baru terkena dampak tumbukan asteroid.
Sementara, area yang jauh lebih lama terkena tumbukan dan terkikis sinar Matahari, punya warna kontras dengan permukaan basal (batuan beku berwarna gelap yang biasanya sisa proses vulkanik) di sekitarnya.
Ditemukan juga unsur ilmenit, mineral titanium dioksida, yang mungkin menyebabkan warna kebiruan.
Zona lainnya di Bulan juga punya warna beragam.
Warna abu-abu yang lebih netral ada di sekitar wilayah Oceanus Procellarum. Wilayah Bulan penuh warna lainnya, Mare Serenitatis, punya bagian tengah yang lebih terang dan memiliki warna yang ‘lebih hangat’ dibandingkan sisi timurnya yang gelap. Area ini terbuat dari basal kebiruan.
Beberapa pengamat melaporkan melihat Mare Fecunditatis, area dekat kawah Langrenus, berwarna hijau sejuk. Meski lebih sulit untuk dilihat, area Mare Imbrium merupakan struktur berlapis-lapis dengan [sisa] aliran lava kemerahan.
Bulan biru
Warna biru Bulan jadi pembicaraan saat momen bulan purnama super berikutnya segera terjadi akhir bulan ini. Bulan Purnama Biru atau supermoon biru sebetulnya tidak benar-benar berwarna biru.
Istilah ini bermula dari saran profesor cerita rakyat dari Memorial University, Kanada, Philip Hiscokc, dalam Sky & Telescope pada 2012. Bulan Biru punya makna ada hal yang ganjil dan tidak akan pernah terjadi.
Ia menyebut kisah tentang istilah bulan biru bukan berasal dari zaman kuno. Sebaliknya, kata Hiscock, dikutip dari Smithsonian Magazine, ini adalah “sebuah cerita rakyat yang benar-benar modern, menyamar sebagai sesuatu yang kuno.”
Pada awal 1900-an, di tempat-tempat seperti Almanak Maine Farmer, istilah “bulan biru” digunakan untuk merujuk pada fenomena terkait-ketika empat bulan purnama terjadi dalam satu musim (di negara-negara iklim subtropis) tertentu, bukan tiga bulan purnama pada umumnya.
Dalam kasus ini, bulan purnama ketiga dikenal sebagai “biru”. Namun, pada 1946, astronom amatir James Hugh Pruett salah menafsirkan istilah tersebut dalam artikel yang ditulisnya di Sky & Telescope dengan menggunakan arti yang kita kenal sekarang.
Kesalahan ini diulangi beberapa kali, khususnya pada 1980 di acara ‘StarDate’ NPR.
Akhirnya, definisi baru tersebut tetap melekat meski salah, bersamaan dengan kesalahan atribusi yang umum terhadap cerita rakyat tradisional, yang “menarik bagi kepekaan modern kita, termasuk keinginan kita untuk memiliki hal-hal yang masuk akal asal usulnya,” tulis Hiscock.
Sejak itu, istilah ini digunakan untuk segala hal mulai dari novel, kupu-kupu, hingga bir gaya putih Belgia yang sangat populer.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)