Udara Jakarta Tembus Rekor Paling Bersih November, Cek Penyebabnya


Jakarta, CNN Indonesia —

Kualitas udara Jakarta sebagian besar berada pada tingkatan tak sehat selama sepekan terakhir meski hujan mulai rutin turun di sebagian besar wilayahnya. Meskipun, Rabu (29/11) jadi hari paling bersih udaranya selama November.

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap musim hujan sudah datang ke Jakarta walau belum merata.

“Untuk wilayah DKI Jakarta mulai bagian tengah hingga ke selatan itu di periode pertengahan November itu sudah mulai memasuki awal musim hujan,” ungkap Miming Saepudin, Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, dalam konferensi pers daring, Rabu (15/11).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sedangkan yang untuk [Jakarta] yang bagian utara ini masih agak mundur nih di periode Januari [dasarian] I atau mungkin nanti lebih cepatnya di Desember awal di Desember akhir,” imbuh dia.

Hujan, yang dinanti-nanti karena dianggap bisa menurunkan kadar polusi udara, nyatanya tak terlalu berefek nyata.

Menurut data dari IQair pada Rabu (29/11) pukul 12.00 WIB, Jakarta berada pada peringkat 12 kualitas udara terburuk secara global dengan nilai 137 AQI, hanya terpaut tiga poin dengan Mumbai, India yang berada di posisi 10 besar.

Pada pukul 14.59 WIB, peringkatnya memang menurun ke peringkat 36 dengan AQI 65 alias masuk level Moderate.

Secara rata-rata harian, kualitas udara DKI kemarin mencapai level moderat dengan AQI 91 dan PM2.5 31,2 µg/m³. PM10 bahkan mencapai level Baik (Good) dengan angka 27 µg/m³. Level ini merupakan terbaik yang pernah dicapai DKI setidaknya selama November 2023!

Walau begitu, data platform yang sama menunjukkan kualitas udara DKI secara rata-rata masih terbilang buruk (Unhealthy/Tak Sehat dan Unhealthy for sensitive groups/Tak Sehat untuk Kelompok Rentan) selama sepekan sebelumnya.

Pada 23-24 November, kualitas udara Jakarta memiliki AQI 159 dan 198 atau masuk kondisi Tak Sehat. Pada kedua hari itu, angka PM2.5, yang merupakan partikel polutan halus di udara yang ukurannya di bawah 2,5 mikron, mencapai 71,4 dan 69,4 19 µg/m³, atau masuk kategori Unhealthy.

Pada 25-27 November, kualitas udara agak membaik meski masih berada dalam kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Nilai rata-rata harian paling baik terjadi pada Sabtu (25/11) dengan 108 AQI, terburuk pada periode ini adalah 150 pada Selasa (28/11).

Angka PM2.5 terendah di periode ini adalah 38,3 µg/m³ (Unhealthy for sensitive groups) dan tertinggi pada Selasa (28/11) dengan 55,4 µg/m³ (Unhealthy for sensitive groups).

Namun demikian, masih ada sisi yang terpantau baik. Angka PM10, polutan udara yang lebih besar dari PM2.5, menunjukkan angka baik hingga moderat.

Meski datanya tak lengkap, PM10 menunjukkan kinerja bagus di beberapa hari di Jakarta saat kondisi AQI dan PM2.5 memburuk.

Contohnya, 13 November dengan angka 65,4 µg/m³ (Moderate), 14 November 81,7 µg/m³ (Moderate), 15 November 42,6 µg/m³ (Good), 16 NOvember 61,1 µg/m³ (Moderate), dan 17 November 46,8 µg/m³ (Good). Selebihnya, IQAir belum menampilkan data PM10.

Menurut hasil pengukuran BMKG di Kemayoran, Jakarta Pusat, angka PM10 per hari ini pulul 14,59 WIB pun mencapai 44 µg/m³ atau dalam kondisi bagus.

Banyak faktor

Pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani mengatakan hujan berpengaruh pada penurunan polusi udara.

Menurutnya, musim kemarau dengan curah hujan dan kecepatan angin yang rendah memang sedikit banyak memengaruhi tingkat pencemaran udara.

“Secara teori memang benar, karena jika ada hujan maka gas hasil pembakaran akan larut dengan air dan diturunkan ke permukaan sehingga udara kembali bersih. Dengan kondisi sekarang di mana sudah lama tidak hujan dan kelembaban juga cukup rendah, keberadaan gas tadi jadi banyak,” ujar dia, dikutip dari situs UGM.

Meski demikian, ia menekankan cuaca dan iklim bukan menjadi satu-satunya penyebab tingginya angka pencemaran udara.

“Kecenderungannya di musim penghujan kualitas udara lebih bagus dibanding musim kemarau, tapi pada saat pandemi kita melihat bahwa kualitas udara juga cukup baik bahkan saat musim kemarau.”

“Jadi itu bukan satu-satunya variabel, meskipun musim penghujan tetap jika sumber pencemaran cukup tinggi maka kualitas udara bisa buruk juga,” imbuhnya.

NAFAS Indonesia, platform pemantau kualitas udara RI, mengungkap hujan hanya berpengaruh 8,7 persen terhadap penurunan PM2.5.

“Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hujan mempunyai dampak yang relatif kecil terhadap penurunan polutan udara (0-30 persen). Dampak paling nyata adalah setelah curah hujan tinggi, dimana polutan udara berkurang hingga 30 persen.”

Selain itu, menurut lembaga tersebut, sebuah penelitian dari China mengungkapkan bahwa polutan minor berkurang hanya sebesar 8,7 persen. Efek terhadap PM2.5 mendekati nol untuk hujan ringan hingga sedang.

“Hal ini karena hujan lebih cenderung menyapu partikel dengan konsentrasi dan ukuran yang lebih besar,” kata NAFAS Indonesia.

Lembaga ini mengatakan kualitas udara umumnya membaik setelah proses pengendapan. Penghapusan partikel dipengaruhi oleh suhu lingkungan, intensitas curah hujan, ukuran partikel, dan konsentrasi polutan.

Menurut tim ini, semakin besar konsentrasi awal partikulat, semakin baik efek penghilangan akibat hujan.

“Efeknya bahkan lebih nyata pada PM10 dibandingkan PM2.5. PM10, partikel yang berdiameter kurang dari 10 μm, akan lebih mudah tersuspensi dengan air hujan dibandingkan PM2.5, yang diameternya kurang dari 2,5 μm,” tandas NAFAS.

[Gambas:Video CNN]

(lom/arh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *