Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar memprakirakan hujan akan mengguyur Pulau Jawa yang telah lama alami kekeringan dalam waktu dekat buntut fenomena atmosfer yang memicu penguapan.
Deni Septiadi, Dosen Meteorologi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), menjelaskan hal ini terkait dengan keberadaan uap air yang semakin masif di atas benua maritim Indonesia (BMI), terutama di atas pulau Jawa, berdasarkan pantauan citra satelit Jumat (6/10) pukul 21.00 WIB.
“Apabila persisten (terus-menerus) dalam 3 hari ke depan guyuran hujan dengan intensitas sedang hingga lebat akan membasahi tanah Jawa yang selama ini kering dan tandus akibat kemarau,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada CNNINdonesia.com, Sabtu (7/10).
“Daerah lain seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua juga akan berpotensi besar diguyur hujan dengan intensitas ringan hingga lebat,” imbuhnya.
Deni memaparkan selama tiga bulan terakhir Pulau Jawa sangat minim uap air.
Padahal, katanya, uap air ini diperlukan sebagai proses agregasi (pengumpulan) yang akan diikat oleh partikulat aerosol atmosferik higroskopis, seperti polutan berukuran mikro PM2.5 dan PM10, “untuk kondensasi pertumbuhan awan konvektif dan menghasilkan hujan.”
Faktor utama yang menguatkan pengumpulan uap air di Jawa ini adalah pelemahan angin Monsun Australia.
Menurutnya, Monsun Australia yang kering, kelembapan rendah (di bawah 20 persen), dan minim uap air menjadi pemicu kondisi kekeringan berkepanjangan selama ini.
Pantauan satelit memperlihatkan angin dari wilayah Australia yang sangat kering masih mendominasi aliran melintasi Jawa. Meski begitu, Deni menyebut ada pelemahan.
“Hari ini indeks monsun Australia mulai melemah meskipun tetap lebih tinggi dari normalnya, tetapi menunjukkan potensi ‘monsoon break’ sehingga uap air tersedia secara masif di BMI,” tuturnya, yang juga merupakan Associate Professor Meteorology itu.
“Semoga tiga hari ke depan beberapa wilayah di BMI terutama Jawa dan sekitarnya mendapatkan curahan air hujan yang sangat dinantikan, tetapi tetap waspada bencana hidrometeorologi!” cetus Deni.
Dalam Peringatan Dini Cuaca 6 Oktober–8 Oktober, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap salah satu faktor pemicu uap air.
Yakni, intrusi udara kering (dry intrusion) dari Belahan Bumi Selatan (BBS) yang terpantau melintasi Samudra Hindia sebelah barat Bengkulu. Hal ini mampu mengangkat uap air basah di depan batas intrusi menjadi lebih hangat dan lembab yaitu di Perairan barat daya Sumatera.
Ada pula faktor “Labilitas Lokal Kuat” yang mendukung proses pembentukan awan hujan pada skala lokal di sejumlah wilayah, termasuk Aceh, Banten, Jawa Barat, NTB, NTT.
BMKG pun mengungkap potensi hujan di sejumlah wilayah. Berikut daftar lengkapnya:
Sabtu (7/10)
Wilayah berpotensi hujan lebat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang:
– Aceh
– Sumatera Utara
– Kalimantan Barat
– Kalimantan Utara
– Kalimantan Timur
– Sulawesi Selatan
– Papua
Wilayah potensi hujan yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang:
– Jawa Barat
– Bali
– Kalimantan Tengah
– Papua Barat
Minggu (8/10)
Wilayah potensi hujan lebat:
– Sumatera Selatan
– Banten
– Jawa Barat
– Kalimantan Barat
– Kalimantan Tengah
– Kalimantan Utara
– Kalimantan Timur
– Papua
Daerah berpotensi hujan:
– Sumatera Barat
– Papua Barat
Pemicu kekeringan
Dalam peta Monitoring of Consecutive No Rain Days atau Monitoring Hari Tanpa Hujan Berturut-Turut BMKG, Pulau Jawa masuk zona merah atau wilayah tanpa hujan lebih dari 60 hari (Ekstrem Panjang), bersama dengan Bali dan Nusa Tenggara.
Selain Angin Monsun Australia, Deni menyebut kekeringan ini terkait dengan fenomena anomali iklim El Nino yang kini berada dalam kondisi moderat (indeks +1.37). Itu mengakibatkan pelemahan angin pasat Timur-Barat di Samudera Pasifik.
“Sehingga konvektivitas di sekitar BMI lemah bukanlah menjadi faktor utama kekeringan yang terjadi.”
Di samping itu, ada fenomena serupa atau bagian barat BMI, yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) yang bernilai positif (indeks +1.69).
Anomali yang berpusat di di Samudera Hindia ini seharusnya menguatkan El Nino dan mengakibatkan pendinginan suhu muka laut di BMI di bawah normal sehingga melemahkan konvektivitas.
“Sepanjang El Nino dan IOD berlangsung, suhu muka laut BMI justru berada dalam kondisi yang netral. Bahkan di perairan Papua justru menghangat. Apabila konsisten, seharusnya penguatan El Nino, daerah yang paling terdampak adalah Papua,” jelas dia.
(can/arh)