Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan spesies baru katak di Sulawesi dan memberinya nama Oreophryne riyantoi.
Temuan ini terjadi setelah analisis morfologi dan filogenetik oleh tim herpetologi Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) BRIN.
Tim peneliti itu beranggotakan Auni Ade Putri, Wahyu Trilaksono, Hellen Kurniati, Amir Hamidy, dan tim Institut Pertanian Bogor, University of California, dan Zoological Community of Celebes Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Akhirnya, berdasarkan analisis mendalam dan sejumlah pendekatan identifikasi lainnya, tim sepakat dan meyakini spesimen kali ini tervalidasi sebagai spesies berbeda, serta belum memiliki nama ilmiah,” ucap Auni, dikutip dari situs BRIN.
Dia menjelaskan asal-usul nama “riyantoi” pada katak jenis baru ini didedikasikan untuk Awal Riyanto, seorang peneliti senior yang saat ini aktif meneliti di PRBE BRIN.
“Apresiasi tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang taksonomi dan konservasi herpetofauna di Sulawesi,” ungkap Auni.
Dasar penemuan Oreophryne riyantoi ini, kata dia, didukung dari data morfologi dan analisis filogenetik gen 16S rRNA.
Hasil identifikasi menyebutkan, spesies baru ini didiagnosis memiliki moncong bulat pada tampilan punggung dan lateral, membran timpani tidak jelas, jarak interorbital sempit, tangan kecil, jari tangan dan kaki tidak berselaput.
Selain itu, cakram terminal pada jari tangan dan kaki kecil, kakinya yang sangat pendek, serta permukaan punggung kepala, badan, dan anggota badan dengan tuberkel yang tidak teratur.
Senada, anggota tim peneliti Wahyu dan Hellen mengungkap temuan menarik dari katak jenis baru kali ini. Biasanya, kata mereka, genus Oreophryne ditemukan tinggal di daerah terestrial, seperti padang rumput terbuka di dataran tinggi atau padang rumput yang didominasi pakis.
Namun, uniknya, kali ini tim menemukan Oreophryne riyantoi hidup di hutan pegunungan.
Dalam proses identifikasi, tim memeriksa morfologi 50 spesimen Oreophryne Sulawesi dan mengenali spesies berbeda yang belum terdeskripsikan.
Wahyu menyebut seluruh spesimen Oreophryne riyantoi dikumpulkan di Gunung Mekongga, Pegunungan Mekongga, Kecamatan Wawo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, 20 November 2011.
“Holotipe tersimpan di Museum Zoologicum Bogororiense (MZB), Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN, dengan paratipe seekor jantan dewasa dan seekor jantan remaja,” terangnya.
Peneliti lainnya, Amir, menjelaskan sejauh ini sudah resmi ada empat spesies endemik Oreophryne di Sulawesi setelah penemuan ini dipublikasikan pada 12 Oktober 2023 dalam Jurnal Zootaxa Volume 5353 Nomor 5.
Perlindungan
Menurutnya, kegiatan penelitian herpetologi, termasuk survei dataran tinggi dan penelitian taksonomi tambahan masih sangat diperlukan untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang keanekaragaman Oreophryne dan filogeografinya di Sulawesi.
“Studi taksonomi Oreophryne dan diagnosis spesies baru telah lama terhambat, karena beberapa spesies tidak ditemukan lagi sejak pertama kali dideskripsi, sehingga sebagian besar belum dipelajari,” katanya.
Sebelumnya, cuma ada tiga spesies endemik Oreophryne ditemukan di Sulawesi. Yakni, Oreophryne celebensis di Pegunungan Boelawa dan Lembah Totoiya, Gunung Sudara atau Gunung Dua Saudara, Sulawesi Utara;
Selain itu ada Oreophryne variabilis dari Gunung Lompobatang, Sulawesi Selatan, dan baru-baru ini juga dilaporkan dari Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara; dan ketiga Oreophryne zimmeri yang diketahui hanya dari tipe lokalitasnya di Pegunungan Mekongga.
Katak Mini, Oreophryne, memiliki keragaman di daratan New Guinea dan di pulau-pulau sekitarnya.
Genus ini juga meluas ke wilayah Wallacea di Maluku, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, dan Flores, bahkan sampai ke kawasan Oriental di Bali, dan Kepulauan Filipina bagian selatan Mindanao dan Biliran.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, genus ini mungkin telah bermigrasi dari New Guinea ke Asia Selatan.
Sebagai informasi tambahan, amfibi Sulawesi yang menghuni dataran rendah hingga pegunungan saat ini menghadapi ancaman, berupa hilangnya habitat di pulau ini dan perubahan iklim global.
Oleh karena itu, BRIN menyebut eksplorasi herpetologi (khususnya taksonomi) tetap menjadi prioritas di wilayah yang terkena dampak. Pekerjaan seperti ini juga akan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya konservasi.
(tim/arh)