Jakarta, CNN Indonesia —
Isu negatif, hoaks, hingga ujaran kebencian mengenai pengungsi Rohingya di Indonesia merebak di sejumlah platform media sosial. Siapa yang pertama kali menyebar narasi kebencian soal Rohingya di Aceh?
Merujuk laporan yang didapat CNNIndonesia.com dari salah satu sumber PBB, narasi kebencian mengenai pengungsi Rohingya sudah dimulai sejak 21 November. Total ada empat unggahan dari akun Instagram @UNinIndonesia mendapat serangan komentar kebencian mengenai Rohingya.
“Bahkan unggahan lain (non-Rohingya) di akun @UNinIndonesia juga mendapat komentar negatif terkait Rohingya, karena unggahan sebelumnya dikolaborasikan dengan @UNHCRIndonesia dan @UNHCRIndonesia telah menonaktifkan komentar,” tulis laporan itu, dikutip Selasa (12/12).
Menurut laporan itu, ada 17.380 komentar mengenai Rohingya dan 91 persen di antaranya adalah komentar kebencian.
Laporan PBB tersebut juga menunjukkan frekuensi penggunaan kata oleh para warganet yang berkomentar. Hampir semua komentar melontarkan komentar yang sama, yaitu “bubarkan” UNHCR/PBB, tapi dengan berbagai variasi sinonimnya, seperti “tutup”.
Tidak hanya itu, yang paling unik adalah tingginya frekuensi penggunaan kata penghubung slang seperti “aja” dan “buat”, yang sangat jarang tercatat sebagai kata kunci yang sering muncul dalam analisis media sosial.
“Hal ini menunjukkan bahwa pesan-pesan tersebut telah diatur dan bukan berasal dari akar rumput. Banyak pesan yang kontra terhadap UNHCR, bukan hanya terhadap etnis Rohingya saja,” lanjutnya.
Laporan PBB itu juga mengungkap bahwa jangkauan atau reach sebagian besar unggahan mengenai pengungsi Rohingya 95 persen bukan followers akun @UNinIndonesia.
Kemudian, sejumlah akun berkomentar bahwa mereka tidak mengetahui apa itu UNHCR, tapi memberikan narasi kebencian.
Tidak hanya itu, jangkauan postingan feed ke non-followers rata-rata adalah 59 ribu per postingan, namun dengan jumlah share rata-rata hanya 177 per postingan, sementara rasio normal untuk share:reach adalah 1:10.
Hal ini menunjukkan komentator-komentar tersebut mungkin telah menerima tautan langsung ke postingan PBB, memberikan komentar negatif yang anti-pengungsi dan mendesak “menutup UNHCR”.
Laporan itu juga menemukan satu akun yang paling vokal dalam isu negatif mengenai etnis Rohingya, yakni @hamzali_abradinezad di Instagram dan @allinezad di Tiktok. PBB mengklaim sudah melaporkan akun ini ke pihak Meta dan perwakilan TikTok di Indonesia.
“Satu akun tampaknya menjadi inti dari kampanye ini; karena ‘ujaran kebencian’ tidak dapat ditujukan kepada sebuah organisasi, hanya kepada orang-orang, kami telah melaporkannya atas pernyataannya yang mengatakan bahwa Rohingya harus diusir karena Indonesia akan menjadi Palestina berikutnya setelah kedatangan mereka,” tulis PBB dalam laporan tersebut.
Analisis Drone Emprit
Lembaga analisis media sosial Drone Emprit juga menganalisis isu mengenai pengungsi Rohingya yang menyeruak di media sosial dan menjadi perbincangan warganet, khususnya di X. Seperti apa analisisnya?
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit mengatakan analisis ini dilakukan dari tanggal 2 sampai 8 Desember 2023 dengan sumber data dari Twitter menggunakan keyword Rohingya.
Analisi Drone Emprit menunjukkan bahwa selama periode tersebut, jumlah sebutan mengenai Rohingya di X jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berita-berita di media online.
Jumlah total sebutan Rohingya di X mencapai 47.672 dibandingkan dengan 4.421 untuk berita online. Total sebutan untuk kedua media tersebut adalah 52.093.
Ismail menjelaskan bahwa klaster yang kontra terhadap pengungsi Rohingya sebetulnya lebih kecil daripada yang pro.
“Klaster pro pengungsi Rohingya memiliki volume interaksi yang paling besar. Kemudian klaster Kontra Pengungsi Rohingya memiliki ukuran yang lebih kecil, namun masih sangat signifikan volume percakapannya,” kata Ismail dalam cuitannya, dikutip Rabu (13/12).
“Ada juga klaster kecil akun-akun yang interaksinya tidak natural, menyendiri, yang menggunakan keyword Rohingya untuk topik percakapan mereka sendiri,” lanjut dia.
Hasil analisis Drone Emprit mengungkap bahwa klaster pro Rohingya menunjukkan sentimen positif. Mereka menekankan pentingnya menjaga semangat kemanusiaan serta mengajak untuk terus mendukung dan membantu pengungsi Rohingya.
[Gambas:Twitter]
Sebaliknya, klaster kontra Rohingya kerap menunjukkan sentimen negatif. Ismail menduga ada upaya membangun sentimen ini dalam isu Rohingya.
“Ditengarai ada upaya sistematis untuk membangun sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya,” papar dia.
Misalnya, beberapa pengguna media sosial curiga bahwa isu Rohingya telah dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk menyerang salah satu calon presiden.
Kemudian, beberapa pengguna media sosial menunjukkan konflik horizontal antara sesama Muslim dalam menghadapi isu Rohingya. Ismail juga mengatakan bahwa ada dugaan percakapan tentang pengungsi Rohingya digunakan sebagai bagian dari kampanye hitam dalam pemilihan presiden mendatang.
“Pengguna media sosial mencurigai adanya tim buzzer yang bekerja untuk menyebar sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya dengan tujuan politik tertentu,” paparnya.
Hasil analisis tersebut juga membongkar beberapa akun yang menyebarkan sentimen negatif mengenai para pengungsi Rohingya itu di antaranya @jengyaws, @tanyarfes, @kegblgnunfaedh, @convomfs, @Heraloebs, dan @Valhallaah.
(tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]