Sains Ungkap Alasan Politikus Suka Bohong tapi Tetap Dicoblos


Jakarta, CNN Indonesia —

Para pakar mengungkap kebohongan politikus menurunkan tingkat kepercayaan para pendukung meski tak membuat kehilangan pemilih. Orang memang hanya percaya pada apa yang ingin dipercayainya…

Sejak Kamis (19/10) hingga Rabu (25/10), Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka masa pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden untuk Pilpres 2025.

Pada momen yang sama, hari ini, Joko Widodo berulang tahun yang kesembilan di kursi Presiden RI dalam dua periode kepemimpinannya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para ilmuwan pun mewanti-wanti soal fenomena gap antara janji politikus dan realisasinya. Eit tenang. Ini bukan di Indonesia, tapi di AS, negara yang kerap menjadikan demokrasi sebagai alasan invasi.

Tim Cek Fakta The Washington Post, misalnya, menemukan Presiden Donald Trump, yang menang di Pilpres AS 2016, melakukan 30.573 kebohongan selama masa kepresidenannya, dengan rata-rata sekitar 21 klaim yang salah per hari.

Sebagai catatan, dia membuat 492 klaim yang mencurigakan dalam 100 hari pertama masa kepresidenan, dan membuat 503 klaim palsu khusus pada 2 November 2020, sehari sebelum pencoblosan Pilpres AS 2020, dalam upayanya memenangkan kembali pemilu.

Studi Ipsos Global Trustworthiness Monitor 2023 pun mengungkap pemerintah menjadi sektor yang paling tidak dipercaya (45 persen), sementara farmasi jadi yang paling tinggi dalam hal indeks kepercayaan (34 persen).

Bagian keseharian

Profesor Psikologi Kognitif Ullrich Ecker dan Postdoctoral research associate Toby Prike dari The University of Western Australia menjelaskan alasan kebohongan merupakan bagian dari keseharian manusia, tak cuma politikus.

Studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), misalnya, mengungkap rata-rata seseorang berbohong sebanyak dua kali dalam satu hari.

“Hal ini bukannya tanpa keuntungan. Faktanya, orang yang terlalu jujur bisa saja mendapati dirinya berada dalam situasi yang canggung secara sosial,” ungkap Ecker dan Prike, dalam tulisan keduanya di The Conversation.

Menurut mereka, sebagian besar kebohongan sebenarnya tidak berbahaya dan berfungsi hanya untuk menghindari ketidaknyamanan, membantu orang membuat kesan yang baik, atau membuat orang lain merasa senang.

“Namun kebohongan tentu saja bisa menjadi lebih jahat. Misalnya, saya dapat menyesatkan Anda agar Anda melakukan apa yang saya ingin Anda lakukan,” tukas keduanya.

Bohong semacam ini bisa menimbulkan konsekuensi negatif; orang yang dibohongi merasa tertipu saat kebohongannya terungkap.

“Namun, beberapa penelitian menyatakan kebohongan semacam ini telah membantu manusia mengembangkan kemampuan untuk bekerja sama,” kata Ecker dan Prike.

Kebohongan politikus di halaman berikutnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *