Jakarta, CNN Indonesia —
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara mengungkap potensi besar pinjaman online (pinjol) alias peer to peer lending dalam ekonomi digital Indonesia. Biar lebih optimal, ia mendorong terus pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
“Saya ingat tahun 2019 itu presentasi di PBB mengenai peran fintech dalam inklusi keuangan. Mereka memuji Indonesia sebetulnya ya,” dalam podcast What The Fact! Star Tech.
“Tapi fintech ada yang peer to peer lending gitu ya, ada layanan-layanan lain kan sekarang variasinya banyak benar, 30 ya, tapi yang besar nilainya itu adalah payment,” lanjutnya.
Berdasarkan laporan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), mayoritas industri teknologi finansial atau fintech (49,2 persen perusahaan) di Indonesia mencatatkan transaksi sekitar Rp5 miliar hingga Rp500 miliar per tahun pada 2022/2023.
“Kalau dilihat dari si fintechnya sih, oh luar biasa kita. Fintech ini kan yang paling banyak yang paling ramai, yang paling seksi itu buat teman-teman media tuh, peer to peer landing lah, pinjol lah,” tuturnya.
Salah satu yang menunjang adalah meluasnya penggunaan QRIS, baik di dalam maupun luar negeri, seperti di Thailand. Keuntungannya, pertama, menjadi lebih gampang karena tinggal scan atau pindah kode QR.
Kedua, transaksi memakai QRIS memudahkan konversi langsung ke mata uang negara yang dituju tanpa perlu menukar ke dolar AS. Ketiga, mengurangi biaya pakai kartu kredit.
“Sekarang sudah enggak perlu lagi, ngapain tukar-tukar. Yang untung apa? Untung dolar iya,” ucap Rudiantara.
Chief RA, panggilan akrab Rudiantara, mengakui pinjol dikait-kaitkan dengan citra buruk lantaran kasus, misalnya, bunuh diri.
“Padahal enggak juga begitu. Bunga tinggi kena pinjol siapa bilang gitu lho? Justru saya [nilai] banyak yang positif ya,” tukas dia.
Ia mencontohkan salah satu fintech landing dengan 60 persen nasabahnya dari luar Jawa.
Rudiantara juga mengakui fintech terutama yang mikro punya bunga lebih tinggi daripada bunga bank. “Tapi mereka tanpa jaminan, satu itu iya. Yang pasti lebih rendah daripada lintah darat,” imbuh dia.
Dengan dua keunggulan itu, Chief RA menilai “pasti orang berpindah” dari rentenir ke fintech.
Dia juga mengungkap angka kredit macet (non-performing loan/NPL) fintech mikro lebih bagus daripada NPL bank.
“Mereka itu lebih apa ya, lebih merasa punya mungkin ya perasaan dosa kalau ‘saya tidak bayar’, gitu lho. Kalau yang [kasusnya] yang besar-besar [di media] itu kan ya bukan dosa, malah mereka merekayasa, misalkan, ngilang, misalkan, ya itu ada apa namanya aspek kultur budaya,” urainya.
Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah memisahkan antara pinjol legal dan ilegal. Yang diperlukan adalah penyisiran rutin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kominfo terhadap aplikasi ilegal di iOS, Play Store, atau pun link pinjol ilegal di dunia maya.
Selain itu, “literasinya juga harus dijalankan. Orang yang legal aja masih ada yang belum paham seluruhnya, apalagi yang ilegal.”
Ekonomi digital
Dikutip dari situs Kementerian Komunikasi dan Informatika, kontribusi ekonomi digital Indonesia per 2021 masih relatif kecil terhadap perekonomian nasional meski pertumbuhannya pesat. Yakni, mencapai Rp980 triliun atau 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pada 2030, PDB Indonesia diproyeksikan mencapai Rp24 ribu triliun. Sementara, ekonomi digital Indonesia ditargetkan menyumbang 18 persen dari PDB atau sekitar Rp4.531 triliun.
“Sekali lagi ruangnya masih cukup besar sekali gitu lho kita. Bandingkan dengan Tiongkok ya. Tiongkok itu udah GDP-nya berapa kali lipat Indonesia, ekonomi digitalnya rasionya terhadap GDP-nya itu 40 persen lebih,” ujar Rudiantara.
“Jadi sebetulnya [potensinya] banyak dan ini bergantung kepada sekali lagi para pemangku kepentingan utama,” lanjutnya.
Rudiantara, yang merupakan mantan Menkominfo itu, mengatakan optimalisasi potensi ini bergantung pada sejumlah hal. Di antaranya, infrastruktur, pemilik bisnis atau e-commerce, regulator atau pembuat kebijakannya, serta jenis bisnisnya.
Terlepas dari potensi-potensi besar itu, Rudantara mendukung pembangunan infrastrutur telekomunikasi untuk menunjang ekonomi digital itu.
Ia pun menyoroti peluncuran Satelit Satria-1 yang merupakan satelit dengan kapasitas terbesar di Asia, yakni 150 Gbps. Baginya, satelit ini bisa menyiasati kesulitan menarik kabel fiber optik keliling Nusantara imbas kondisi geografis RI yang berupa kepulauan.
“Jadi kalau mau cepat solusinya harus dari udara pakai satelit. Nah Indonesia ini sudah mempunyai satelit,” ucap Rudiantara.
“Tapi itu cukup enggak cukup, belum cukup. Yang kita butuhkan itu mungkin 500 Giga, 1 Tera, agar kalau benar-benar kita mau memberikan akses internet yang setara gitu lho,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kominfo meluncurkan Satelit Satria-1 dari Florida, AS, Senin (19/6) pagi WIB. Satelit yang sudah berada di orbit ini diproyeksikan mulai beroperasi pada awal 2024.
(tim/arh)