Jakarta, CNBC Indonesia – Riset dari Bank Dunia menyebut pekerja lepas online (online gig workers), termasuk driver ojek online, hdiup susah dengan kesulitan membayar utang dan tak punya tabungan.
Dalam laporan berjudul Working Without Borders: The Promise and Peril of Online Gig Work, Bank Dunia memperkirakan 6-7 persen pekerja informal di Indonesia adalah pekerja lepas online seperti ojol. Dari seluruh pekerja yang bergantung ke platform online tersebut, 63 persen di antaranya bekerja di kota besar.
Mayoritas jenis pekerjaan mereka adalah pengiriman barang (44%), pengantaran orang seperti ojol dan taksi online (35%), tugas sehari-hari seperti belanja untuk orang lain (28%), dan logistik (19%).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat fenomena ini, Ekonomi Indef Nailul Huda mengutip data dari FINDEX, hanya 32,75 persen pekerja di Indonesia yang mampu menyediakan dana cadangan untuk kebutuhan 7 hari ke depan. Sementara, jika dibandingkan dengan negara lainnya, persentase tersebut relatif kecil.
Rata-rata di negara lain 40 persen pekerja mampu menyediakan dana untuk 7 hari ke depan. Namun ini keadaan pekerja secara umum, termasuk di sektor formal yang bergaji tetap.
Dari pekerja di sektor informal, keadaannya jauh lebih parah termasuk para driver yang tidak punya penghasilan layak dan tetap. Mereka tidak memiliki kemampuan dan dana cadangan yang cukup.
“Makanya tidak jarang hidup pekerja informal sering berhutang kanan dan kiri,” kata Nailul kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (18/9/2023).
Mereka juga kesulitan berutang ke instansi pembiayaan formal seperti perbankan. Tak heran banyak dari mereka yang lari ke individu seperti keluarga, rentenir, gadai, dan pinjaman online untuk meminjam uang.
Untuk memutus hal tersebut dibutuhkan sistem otomatis yang memberikan layanan perlindungan sosial dari aplikator.
“Saya sering menyebutkan harus ada sistem yang win-win antara driver, platform, dan konsumen untuk memberikan perlindungan perjalanan,” tegasnya.
Serta, pentingnya tambahan biaya untuk asuransi perjalanan menggunakan jasa ride-hailing atau kurir.
Kemudian, penyedia platform juga bisa memberikan keringanan pembayaran BPJS menjadi cicilan bagi mitra driver sehingga tidak terlalu memberatkan dan bisa memberikan perlindungan sosial.
Order sepi
Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafaril mengatakan, bahwa ia belum punya data lebih lanjut sampai hitungan soal utang-utang ojol dan taxi online (taxol).
Namun yang ia tahu, pendapatan ojol dan taxi online mengalami penurunan yang sangat drastis.
Padahal pendapatan untuk pihak penyedia aplikasi makin besar karena ada potongan setiap order. Selain itu, ada juga biaya tambahan aplikasi di setiap order.
“Bila aplikasi membuat paket harga promo, harga tersebut pasti memangkas biaya mitra ojol dan taxol, tetapi tidak memangkas pendapatan aplikasi,” ujar Taha kepada CNBC Indonesia melalui pesan singkat.
Mengenai nasib driver, saat ini hampir 50 persen lebih mitra ojol dan taxol hanya bertahan hidup. Ia mengaku tidak tahu kenapa orderan susah sekali didapatkan. Apakah ada sistem prioritas dalam algoritma yang dipasang oleh penyedia aplikasi.
“Atau memang orderan sepi,” imbuhnya singkat.
Untuk itu, para driver ingin perjanjian hubungan kemitraan di sah kan oleh institusi terkait di pemerintah, agar hubungan kemitraan antara penyelenggara transportasi dan penyelenggara teknologi nya bisa diatur seadil mungkin.
[Gambas:Video CNBC]
(dem/dem)