Jakarta, CNN Indonesia —
Para mantan pemimpin dunia dan ekonom global meminta negara-negara kaya penghasil minyak mesti dikenakan pungutan atau retribusi US$25 miliar (sekitar Rp385,89 triliun) demi membayar dampak bencana iklim terhadap masyarakat termiskin dan paling rentan.
Hal itu terungkap dalam surat yang ditandatangani tujuh puluh tokoh internasional, termasuk 25 mantan perdana menteri atau presiden, yang dipimpin oleh mantan PM Inggris Gordon Brown.
Surat itu dirilis jelang pertemuan puncak iklim PBB, Conference of the Parties atau COP28, yang dimulai di Dubai pada Kamis (30/11).
Para tokoh dunia menilai pungutan semacam ini hanya akan mengurangi sebagian kecil keuntungan yang diperoleh negara-negara penghasil minyak dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, dana tersebut akan membantu menutup “kerugian dan kerusakan” (loss and damage) yang dialami negara-negara miskin yang terkena dampak krisis iklim.
“Kebuntuan pendanaan iklim harus dipecahkan jika COP28 ingin berhasil,” ungkap Gordon dikutip dari The Guardian.
“Setelah lebih dari satu dekade tidak memenuhi janji, pajak minyak dan gas sebesar US$25 miliar yang dibayarkan oleh negara-negara penghasil minyak dan diusulkan oleh UEA sebagai ketua COP akan memulai pendanaan untuk mitigasi [pengurangan emisi gas rumah kaca] dan adaptasi di wilayah selatan,” urainya.
“Tetapi semua negara-negara penghasil emisi utama, baik di masa lalu maupun saat ini, harus memberikan jaminan dan hibah agar dana sebesar US$1 triliun per tahun yang dibutuhkan untuk pembangunan dan pendanaan iklim di negara-negara selatan ingin dikumpulkan.”
Surat tersebut dikirimkan kepada calon presiden COP28, Sultan Al Jaber, yang juga merupakan kepala eksekutif Adnoc, perusahaan minyak nasional Uni Emirat Arab, dan kepada presiden G20 saat ini Luiz Inácio Lula da Silva yang merupakan Presiden Brasil.
Penandatangan surat termasuk mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, mantan perdana menteri Selandia Baru Helen Clark, mantan presiden Malawi Joyce Banda, dan mantan presiden Chile Michelle Bachelet, serta sejumlah ekonom terkemuka.
Angka-angka ngeri
Surat tersebut menunjukkan bahwa, menurut Badan Energi Internasional, pendapatan minyak bumi adalah US$1,5 triliun (sekitar Rp23.153,4 triliun) per tahun sebelum pandemi.
Angkanya melonjak ke rekor US$4 triliun (sekitar Rp61.742,4 triliun) pada 2022.
Jumlah ini 20 kali lipat dari seluruh anggaran bantuan global, lebih dari 30 kali lipat anggaran gabungan seluruh bank pembangunan multilateral.
Selain itu, jumlahnya 40 kali lipat dari dana yang dijanjikan pada 2009 buat negara-negara miskin demi membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi terhadap dampak krisis iklim, yakni US$100 miliar per tahun.
“Hanya dalam kurun waktu satu tahun, keuntungan tak terduga senilai US$2,5 triliun diperoleh oleh negara-negara produsen minyak dan perusahaan nasional serta perusahaan swasta lainnya tanpa melakukan apa pun untuk memperolehnya,” tulis para penandatangan surat.
Retribusi terhadap negara-negara penghasil bahan bakar fosil yang diusulkan dalam surat Brown akan mewakili sekitar 3 persen pendapatan minyak dan gas dari negara-negara minyak terbesar di dunia.
Para penandatangan menulis bahwa dana kerugian dan kerusakan tidak seharusnya menjadi satu-satunya penerima manfaat, karena program-program lain juga bisa menjadi sasaran.
“Beberapa perusahaan swasta di sektor ini membayar pajak tambahan atas keuntungan mereka, namun perusahaan minyak swasta hanya menyumbang 15 persen dari pendapatan mereka,” menurut para penulis.
“Penerima manfaat terbesar sejauh ini adalah negara-negara petro-state besar yang mengumpulkan pendapatan ekspor sebesar US$973 miliar, naik sebesar US$381 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.”
UEA sendiri mengalami peningkatan pendapatan ekspor dari US$63 miliar menjadi US$98 miliar; Qatar meningkat dari US$53 miliar menjadi US$86 miliar; dan Kuwait meningkat dari US$63 miliar menjadi US$88 miliar.
Pendapatan ekspor Norwegia meningkat dari US$87 miliar menjadi US$174 miliar; Arab Saudi naik dari US$190 miliar menjadi US$311 miliar.
“Retribusi sebesar US$25 miliar, yang mewakili lebih dari 1 persen pendapatan minyak dan gas tahun lalu dan hanya 3 persen dari pendapatan eksportir besar, dapat memulai program investasi di wilayah selatan,” kata penandatangan surat.
Bahan bakar fosil ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang memicu kenaikan suhu global hingga mengubah iklim dunia menjadi lebih penuh bencana alam.
COP28 rencananya dihadiri para pemimpin dunia, termasuk Raja Charles III, PM Inggris Rishi Sunak, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, hingga Paus Francis.
Mereka akan bergabung pada hari-hari awal KTT, untuk kemudian para menteri dan pejabat tingkat tinggi dari 198 negara akan melakukan perundingan selama dua minggu.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)