Pakar Wanti-wanti Hujan Buatan Malah Bisa Bikin Pekat Polusi Kota


Jakarta, CNN Indonesia —

Peneliti mengungkapkan hujan buatan yang dihasilkan dari teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menanggulangi polusi udara malah berpotensi bikin kualitas udara makin buruk.

Sebelumnya, pemerintah sudah menggelar beberapa penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menurunkan hujan demi menekan kadar polusi udara terutama di wilayah Jabodetabek.

Dalam keterangannya, BMKG menyebut TMC di bagian barat Jabar sudah dilakukan dalam dua periode.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

TMC periode 19 – 21 Agustus menurunkan curah hujan pada 20 Agustus dengan intensitas sedang hingga lebat terjadi di sebagian Kabupaten Bogor, hujan dengan intensitas ringan hingga sedang di sebagian Depok (Jabar), Kab. Lebak, Kab. Tangerang, dan Tengerang Selatan (Banten).

TMC 27 Agustus di wilayah yang sama berhasil dengan curah hujan dengan intensitas sedang hingga lebat di Kab. Bogor dan Depok.

Sementara, hujan dengan intensitas ringan hingga sedang di sebagian wilayah Bogor, Depok, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Tangerang Selatan

Berdasarkan keterangan BMKG, hingga 27 Agustus sudah 13 sortie penerbangan dilakukan untuk menebar 8.800 Kg NaCl dan 1.600 Kg CaO.

Kontradiktif

Peneliti Meteorologi di BMKG Deni Septiadi menilai menaburkan garam di atas atmosfer untuk memantik hujan turun bisa bikin peningkatan konsentrasi polutan.

“Artinya menaburkan langsung garam di atas atmosfer Jakarta dan sekitarnya justru akan memiliki potensi untuk meningkatkan konsentrasi polutan yang sudah ada,” kata dia dalam siniar YouTube-nya, Rabu (30/8).

Hal itu lantaran pada periode Juni, Juli, hingga Agustus merupakan fase terkuat dari aliran Monsun Australia yang cenderung kering.

Ditambah lagi, kata dia, ada fenomena El Nino yang jelas menyebabkan uap air di wilayah maritim Indonesia sangat minim, terutama di Jakarta dan sekitarnya.

“Artinya menaburkan langsung garam di atas atmosfer Jakarta dan sekitarnya justru akan memiliki potensi untuk meningkatkan konsentrasi polutan yang sudah ada,” kata Deni.

Polutan dengan diameter mikro, yakni PM2.5 dan PM10, kata dia, mestinya bisa berperan sebagai atmospheric aerosol seperti garam dalam TMC. Yakni, mengikat uap air untuk proses kondensasi yang menumbuhkan awan dan hujan.

Masalahnya, tak ada uap air itu akibat curah hujan yang kering. Alhasil, polutan-polutan itu menyebar di udara.

“Artinya menaburkan garam pada fase Juni-Agustus dengan kondisi yang kering dan uap air yang minim, tentu harusnya tidak direkomendasikan untuk solusi pada polusi di era urban,” tutur Deni.

(can/arh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *