Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar menilai langkah pemerintah melakukan penyemprotan uap air atau water mist dari atap gedung tidak akan terlalu efektif dalam menekan polusi udara. Sebaliknya, hal ini justru bisa membuang-buang air di tengah kondisi kemarau.
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari mengatakan water mist kemungkinan bisa saja mengurangi polusi udara. Namun, hal itu merupakan solusi jangka pendek.
“Untuk jangka pendek saya kira masih memungkinkan, dalam menyemprot ini kan sebenarnya juga ada teknologinya, dalam arti kita menggunakan air harus berapa tekanannya, nozzle atau bentuk droplet yang dibutuhkan agar dia bisa lebih efektif di dalam menangkap partikulat, meskipun bentuk mist bisa saja mengurangi tapi efektivitasnya perlu kita kaji kembali,” kata Puji dalam siaran CNN Indonesia TV yang tayang Selasa (29/8).
Puji juga menyoroti pemakaian air untuk melakukan metode ini. Menurutnya, tidak mungkin hanya menggunakan sedikit air untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.
“Karena airnya banyak sekali, lalu kemudian apakah kita akan terus menerus setiap hari, artinya jumlah air yang terbuang lumayan banyak,” jelas Puji.
Merujuk penjelasan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar beberapa hari lalu, water mist dibutuhkan air sekitar 500 liter per generator. Selain itu, metode ini juga membutuhkan listrik 2.000 watt.
Namun, pemerintah sampai saat ini belum mengungkap ada berapa alat mist generator yang digunakan untuk mengusir polusi Jakarta. Jumlah gedung yang digunakan untuk melakukan water mist juga belum disampaikan ke publik.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto sebelumnya hanya mengungkap ada 1.300 gedung di Jakarta yang memiliki sedikitnya delapan lantai. Namun, ia mengaku belum bisa menentukan jumlah gedung yang bisa dilakukan water mist.
Di sisi lain, Puji juga mengungkap bahwa ada masalah lain yang disebabkan oleh penggunaan metode water mist untuk mengusir polusi. Salah satunya adalah meningkatnya kelembapan udara di bagian bawah gedung.
“Dan kelembapan yang tinggi ini juga tidak baik untuk meteorologi, karena dengan kelembapan yang tinggi itu juga bisa [membuat] polutan tidak bisa naik, jadi lebih dingin dibandingkan udara di atasnya. Itu perlu dipikirkan kembali,” ungkap dia.
Perlu evaluasi
Puji menyebut langkah ini perlu dievaluasi kembali. Terlebih masih banyak yang masih harus dikaji dalam penggunaan metode ini.
“Maksud saya harus dievaluasi kembali, berapa lama, berapa air yang digunakan akan bisa menurunkan, bersihkan udara berapa lama,” ungkap Puji.
Selain itu, menurut dia hal ini sebetulnya hanya solusi jangka pendek. Penggunaan water mist juga belum bisa mengatasi akar masalah dari polusi di Ibu Kota.
“Karena sumbernya masih ada, belum berkurang, kemudian di-spray mungkin [berkurang sedikit], sementara kelihatannya bersih, tapi sebenarnya barangkali belum bersih sekali, mungkin partikulat yang lebih kasar bisa dibersihkan, tapi yg masih halus 1 mikron ke bawah itu kemungkinannya masih ada di sana,” jelas dia.
Peneliti Meteorologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Deni Septiadi juga sangsi rencana itu dapat berjalan dengan baik. Sejak masih berbentuk usulan akhir pekan lalu, Deni meragukan opsi ini untuk mengurangi polusi udara di Jakarta.
Menurut Deni menyemprotkan air dari atas gedung merupakan cara instan yang tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas udara.
“Cara-cara instan enggak akan berdampak. Jakarta dan sekitarnya hampir setiap tahun jadi kota berpolusi, karena kebijakan atau regulasinya hampir selalu jangka pendek,” ungkap Deni akhir pekan lalu.
Selain itu, menurut Deni butuh ber ton-ton kubik air untuk membersihkan Jakarta dengan cara tersebut.
Deni mengungkap kadar polutan PM2,5 yang menyelimuti sejumlah kawasan Jakarta itu, mengambang di Lapisan Batas Atmosfer (LBA) dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan.
Menurut dia pemerintah seharusnya melakukan identifikasi terlebih dahulu dari mana sumber emisinya sebelum melakukan penindakan.
“Apakah itu dari sektor transportasi, industri atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Harusnya diidentifikasi nih, setelah itu tinggal dicarikan regulasinya,” jelas dia.
Menurutnya jika biang keroknya sudah ditemukan, selanjutnya pemerintah tinggal memperketat regulasi seperti memaksa masyarakat untuk beralih ke transportasi umum atau memperpanjang hari tanpa kendaraan bermotor alias car free day.
“Cobain regulasi yang agak ketat, kemudian [masyarakat] dicoba dan dipaksakan beralih ke transportasi umum atau car free day diperpanjang, turun enggak untuk polusinya,” kata Deni.
“Cara yang paling bisa dilakukan dan sudah dilakukan banyak negara yaitu menggalakan transportasi umum, dicek lagi PLTU atau industri yang polutanya,” imbuhnya.
Menurut dia dengan cara itu setidaknya dalam waktu seminggu kandungan PM 2,5 akan terlihat berkurang karena polutan akan ke permukaan dan diserap oleh pohon-pohon.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]