Jakarta, CNN Indonesia —
Para ilmuwan berhasil merekonstruksi aroma kuno dengan mengidentifikasi bahan-bahan yang digunakan dalam balsem mumi Mesir, dan membangkitkan aroma tersebut.
Mereka yang ingin mencicipi aroma masa lalu ini akan dapat menemukan apa yang dijuluki oleh para peneliti sebagai “aroma keabadian” dalam pameran mendatang di Museum Moesgaard di Denmark.
Aroma ini disebut juga sebagai “aroma kehidupan abadi”. Para peneliti mengungkap aroma ini dibuat dari lilin lebah, minyak tumbuhan, dan resin pohon dari negeri antah-berantah yang ditemukan tim peneliti dalam balsem yang digunakan lebih dari 3.500 tahun lalu untuk mengawetkan Senetnay, wanita bangsawan yang jasadnya diletakkan di dalam guci-guci kanopik dan ditemukan di Lembah Para Raja di Mesir pada tahun 1900.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penemuan ini mengungkap wawasan tentang status sosial Senetnay serta metode yang digunakan untuk mengawetkan jasadnya dan arti penting dari bahan balsem tersebut. Penelitian ini terbet pada Kamis (31/8) di jurnal Scientific Reports.
“Bahan-bahan pembalsem yang ditemukan dalam balsem Senetnay termasuk yang paling rumit dan beragam yang pernah diidentifikasi dari periode ini, yang mengungkapkan ketelitian dan kecanggihan pembuatan balsem tersebut,” ujar penulis utama studi tersebut, Barbara Huber, seorang peneliti doktoral dari Institut Geoantropologi Max Planck di Jerman, mengutip CNN.
“Kehadiran beragam bahan yang begitu banyak, termasuk zat-zat eksotis seperti damar atau resin pohon Pistacia, mengindikasikan bahan-bahan yang sangat langka dan mahal digunakan untuk pembalseman. Hal ini menunjukkan status luar biasa Senetnay di masyarakat,” tambah Huber.
Mengungkap cerita Senetnay
Tidak banyak yang diketahui tentang Senetnay, namun penelitian sebelumnya membuktikan ia hidup sekitar tahun 1.450 SM dan merupakan ibu susu Firaun Amenhotep II, putra yang telah lama dinanti-nantikan dan pewaris Firaun Thutmose III.
Senetnay dianugerahi gelar “Ornamen Raja,” menurut catatan sejarah, dan menjadi anggota berharga dalam rombongan Firaun. Setelah kematiannya, organ-organ vital Senetnay dibalsem dan ditempatkan di dalam empat guci kanopi dengan tutup berbentuk kepala manusia.
Orang-orang Mesir saat itu dengan hati-hati membuang organ-organ seperti paru-paru, hati, perut dan usus selama proses mumifikasi untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan mengawetkan tubuh dengan lebih baik. Menurut penelitian tersebut, orang Mesir percaya bahwa tubuh harus diawetkan untuk akhirat sehingga jiwa seseorang akan memiliki tempat untuk kembali.
Setelah proses pembalseman, guci-guci tersebut ditempatkan di dalam makam kerajaan di Lembah Para Raja, dan seorang ahli Mesir Howard Carter menemukannya pada tahun 1900. Namun, jasad Senetnay tidak ditemukan.
Penelitian ini mengungkap dimasukkannya Senetnay ke dalam Lembah Para Raja, sebuah pemakaman yang biasanya diperuntukkan bagi firaun dan bangsawan yang berkuasa menunjukkan keistimewaan yang luar biasa, dan penghormatan yang tinggi.
“Penelitian ini memberikan wawasan tentang upaya besar yang dilakukan orang Mesir dalam praktik pengurusan jenazah, dan tidak hanya untuk Firaun, tapi juga individu-individu lain dalam masyarakat,” kata rekan penulis studi Nicole Boivin, pemimpin kelompok penelitian di Institut Geoantropologi Max Planck.
“Namun, hal ini juga memperjelas bahwa Senetnay adalah orang yang penting, dengan arti penting yang melampaui deskripsi sederhana tentang dirinya sebagai ibu susu bagi Firaun Amenhotep II di masa depan,” lanjut Boivin.
Infografis membandingkan Mumi Chincorro dan mesir (Foto: Laudy Gracivia)