Jakarta, CNN Indonesia —
Bayangan bakal ‘hilang’ pada tengah hari di Jakarta, Senin (9/10), buntut fenomena kulminasi. Matahari pun pada momen itu akan benar-benar di atas kepala.
Fenomena ini terkait dengan kulminasi atau hari tanpa bayangan. Hal ini terjadi akibat gerak semua Matahari, yang sebenarnya efek gerakan Bumi mengelilingi Matahari.
Bentuk lainnya adalah fenomena ekuinoks, yakni saat posisi titik semu Matahari yang melintasi garis khatulistiwa atau ekuator.
Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap hari tanpa bayangan di Jakarta akan terjadi pada Senin (9/10), pukul 11.40 WIB.
Hari tanpa bayangan juga akan terjadi di Kota Bogor pada keesokan harinya, Selasa (10/10) pukul 11.39 WIB.
Selain hilangnya bayangan sesaat, ada efek peningkatan panas?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengakui fenomena kulminasi ini berdampak pada kondisi suhu udara yang lebih panas dari biasanya.
“Kulminasi utama terjadi saat kedudukan Matahari tepat di atas kepala kita. Pada saat itu sudut datang sinar matahari akan tegak lurus dengan permukaan bumi, sehingga energi sinar Matahari akan terkonsentrasi pada area yang sempit,” demikian keterangan BMKG dalam sebuah Buletin pada 2020.
“Hal ini menyebabkan permukaan bumi menerima energi yang lebih besar, sehingga kondisi suhu udara lebih panas dari biasanya,” lanjut keterangan itu.
Walau begitu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan fenomena ini tak selalu mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis atau ekstrem.
“Faktor-faktor lain seperti kecepatan angin, tutupan awan, dan tingkat kelembapan udara memiliki dampak yang lebih besar terhadap suhu di suatu wilayah,” urai dia, pekan lalu.
“Tidak ada perubahan suhu maksimum di Indonesia yang besar saat fenomena equinox terjadi, biasanya kisaran 32-36 C,” tambahnya.
Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG untuk Senin (9/10), suhu minimum di berbagai daerah administratif Jakarta mencapai 24 hingga 26 derajat Celsius, dengan suhu maksimum 29 sampai 33 derajat C.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah faktor kelembapan udara yang berkisar 55 sampai 90 persen. Semakin tinggi kelembapan, semakin panas udara terasa meski angka suhunya tetap sama.
Guswanto melanjutkan efek langsung ekuinoks, dan juga kulminasi, ini adalah kesamaan durasi siang dan malam, yakni sekitar 12 jam di atas wilayah yang dilintasinya.
“Saat fenomena ini berlangsung, Matahari dengan bumi memiliki jarak paling dekat dengan Bumi, sehingga wilayah tropis di sekitar ekuator (khatulistiwa) mendapatkan penyinaran matahari maksimum,” paparnya.
Yang perlu diwaspadai pula adalah musim kemarau yang tengah melanda Jakarta dan sekitarnya serta kekeringan meteorologis (dasarian I atau 10 hari pertama Oktober), fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang memuncak, hingga minim tutupan awan (clear sky).
“Kenapa Oktober panas banget? Kalau hanya El Nino 3.4 saja kita akan terkecoh, tapi puncak IOD itu sepertinya jatuh pada Oktober,” ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan, dikutip dari Antara.
“Pemanasan berasal dari wilayah timur, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa Timur termasuk Surabaya. Tidak ada El Nino saja panasnya seperti itu di Surabaya, (apalagi) ditambah El Nino dan IOD yang mencapai puncak periode Oktober,” tandasnya.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)