Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak awal konflik Hamas dan Israel pecah pada akhir pekan lalu, banyak konten terkait peristiwa berdarah tersebut berseliweran di media sosial.
Di X (dulunya Twitter) banyak rekaman video memperlihatkan penculikan dan operasi militer yang dilancarkan kedua kubu. Namun, tak semua konten menunjukkan fakta lapangan yang sebenarnya.
Alhasil, konten-konten palsu alias hoaks tersebut membuat konflik ini makin ruwet karena memicu reaksi kebencian dari khalayak. Salah satunya, menurut CNBC International, ada video yang menunjukkan angkatan udara Israel menyerang Hamas di Gaza. Video tersebut viral di X dan banyak diunggah kembali oleh warganet.
Meski tim X telah melabelinya sebagai ‘konten menyesatkan’ (misleading), tetapi video-video serupa yang diunggah ulang masih bisa ditemukan di platform milik Elon Musk tersebut, menurut pantauan CNBC International.
Bisa dibilang X kurang ‘sat set’ dalam mengkaji konten-konten yang bertebaran di platformnya. Alhasil, warganet kesulitan untuk menemukan informasi akurat terkait update konflik Hamas dan Israel di Gaza.
Hal ini menjadi sorotan, utamanya setelah NBC News melaporkan bahwa X memangkas tim yang bertanggung jawab untuk menghapus disinformasi dan menjaga integritas jelang pemilu.
Beberapa saat sebelum Hamas meluncurkan serangan mendadak ke Israel, X juga menghapus headline berita dari tautan (link) yang disematkan pada platform tersebut.
Hal ini membuat link eksternal dari organisasi media yang kredibel kesulitan dalam menyampaikan informasi ke khalayak ramai di Twitter, dikutip dari CNBC International, Selasa (10/10/2023).
Sebelum Elon Musk mengakuisisi Twitter, perusahaan tersebut berkomitmen untuk memperkerjakan tim khusus dalam memerangi disinformasi dan konten menyesatkan dalam platformnya.
Namun, ketika Elon Musk ‘berkuasa’ dan mengganti Twitter jadi X, salah satu yang ia lakukan adalah memangkas tim khusus tersebut. Di bawah kepemimpinan Musk, prioritasnya adalah meminimalisir penyensoran konten dan membuka ruang bebas berekspresi bagi semua pengguna.
Menurut analis dari Network Contagion Research Institute, Alex Goldenberg, Twitter sebenarnya sudah sejak dulu kesulitan memerangi disinformasi. Bahkan, sebelum diambilalih Musk.
Menurut studinya, banyak konten berbahasa asing (non-Inggris) dengan muatan disinformasi yang kerap luput dari pantauan tim manajemen Twitter.
“Saya sering menemukan disinformasi serta ajakan untuk melakukan kekerasan dalam bahasa Inggris diprioritaskan [untuk dihapus], namun dalam bahasa Arab sering kali diabaikan,” kata Goldenberg.
“Banyak video dan foto daur ulang dari konflik lama yang kadang-kadang dikaitkan dengan konflik lebih baru,” ia menambahkan.
Beberapa video propaganda buatan Hamas juga banyak beredar di X. Banyak media sosial yang langsung menghapusnya, termasuk Twitter. Namun, akun-akun terkait masih banyak ditemukan dan sulit dihapus dengan cepat tanpa tim khusus yang menanganinya.
“Elon Musk menghancurkan komponen Twitter yang bisa dibilang terbaik selama ini, yaitu kemampuan untuk mendapatkan data yang relatif akurat dan dapat dipercaya secara real-time ketika terjadi krisis,” kata Paul Bernal, Profesor Hukum IT di University of East Anglia, Inggris.
[Gambas:Video CNBC]
(fab/fab)