Jakarta, CNN Indonesia —
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkap pengakhiran atau terminasi proyek Hot Backup Satelite (HBS) senilai Rp5,2 triliun terkait dengan pertimbangan jaringan telekomunikasi ke depan.
Proyek ini sedianya direncanakan untuk hadir sebagai satelit cadangan Satria-1 dan sebagai penambah kecepatan internet di Indonesia.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo Usman Kansong mengatakan keputusan menghentikan proyek HBS merujuk hasil analisis dari Satgas BAKTI Kominfo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ya ini kan berdasarkan kajian Satgas Percepatan Transformasi Digital. Jadi kita lihat dari sisi, misalnya anggaran, kemudian kita lihat dari sisi ke depannya seperti apa. Ya ke depannya, misalnya ini ya, kan teman-teman juga sudah pada menulis tentang kemungkinan Starlink masuk, misalnya begitu ya,” kata Usman di Jakarta, Senin (23/10).
“Itu juga menjadi pertimbangan-pertimbangan yang membuat kita men-terminasi, istilahnya, HBS,” imbuhnya.
Pemerintah saat ini sedang memproses perizinan layanan Starlink, konstelasi satelit yang dikendalikan SpaceX milik miliarder Elon Musk, di Indonesia. Beberapa penyedia layanan internet (ISP) lokal mengaku resah dengan potensi ancaman layanan baru ini.
Usman melanjutkan anggaran jumbo Satelit HBS, yang memakan biaya investasi Rp5.208.984.690.000 termasuk PPN, menjadi salah satu pertimbangan untuk menghentikan proyek HBS.
“Itu kan anggarannya besar, sehingga ya saya kira hasil kajian tim. Sebetulnya sebelum Satgas itu melakukan kajian, BAKTI juga sudah melakukan kajian. Seberapa feasible itu HBS untuk kita teruskan. Dan hasil kajian itu disampaikan ke Satgas, dan kemudian kita sepakati untuk di-terminasi,” jelas dia.
Usman menegaskan proyek satelit lainnya seperti Satria-2 masih berlanjut. Saat ini, satelit Satria-2 juga masih dalam tahap perancangan.
“Kalau yang Satria-2 kan belum ada. Digambar aja belum. Belum ada ininya gitu. Kita masih mikirin Satria-1 itu nanti operasi bulan Desember seperti apa,” ujar dia.
Poyek pembuatan HBS berlangsung sejak 19 Oktober 2021. Pada Maret 2022, Kominfo telah menandatangani kontrak proyek HBS dengan pemenang lelang Konsorsium Nusantara Jaya.
Konsorsium Nusantara Jaya merupakan gabungan dari beberapa perusahaan, yaitu PT Satelit Nusantara Lima, PT DSST Mas Gemilang, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan PT Palapa Satelit Nusa Sejahtera.
Pengadaan Infrastrutkur (Capital Expenditure/capex) untuk penyediaan HBS disebut membutuhkan biaya investasi Rp5,2 triliun. Proyek ini mulanya direncanakan untuk hadir sebagai satelit cadangan Satria-1 dan sebagai penambah kecepatan internet di Indonesia.
HBS melibatkan sejumlah perusahaan besar, yakni Boeing, SpaceX, dan Hughes Network System.
Boeing merupakan perusahaan manufaktur satelit untuk proyek Hot Backup Satellite (HBS), SpaceX perusahaan penyedia roket peluncur untuk satelit tersebut, sedangkan Hughes Network System perusahaan yang menyediakan solusi broadband bagi satelit HBS.
Pengadaan Satelit HBS dilakukan melalui Badan Layanan Umum (BLU) Bakti dengan menggunakan dana universal service obligation (USO). USO sendiri adalah dana yang disetorkan penyelenggara telekomunikasi ke negara.
Dengan demikian, HBS didanai langsung oleh BAKTI Kominfo, berbeda dengan satelit Satria-1 yang didanai oleh Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Pengerjaan Satelit HBS melibatkan sejumlah nama besar, seperti Boeing, SpaceX, dan Hughes Network System.
Boeing menjadi perusahaan manufaktur satelit untuk proyek ini, SpaceX menjadi perusahaan penyedia roket peluncur untuk satelit tersebut, dan Hughes Network System perusahaan yang menyediakan solusi broadband bagi Satelit HBS.
Dikutip dari situs Kominfo, Johnny G Plate, saat masih menjabat Menkominfo, mengatakan Satelit HBSmemiliki kapasitas 150 Gbps.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)