Jokowi Minta Ingat ‘Kiamat’, Buktinya di Daun Sampai Penguin

Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Joko Widodo tiba-tiba mengingatkan warga Indonesia soal malapetaka yang mengintai Bumi dan penghuninya. Bukti Bumi makin dekat dengan “kiamat” ada di mana-mana, mulai dari daun hingga penguin.

Dalam acara Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi EBT (LIKE) di Indonesia Arena GBK, Jakarta, Senin (18/9/2023), Jokowi meminta agar semua pihak untuk berhati-hati atas dampak perubahan iklim hingga kerusakan lingkungan.

“Hati-hati, hati-hati ancaman perubahan iklim sudah nyata dan sudah kita rasakan dan dirasakan semua negara di dunia,” kata Jokowi dalam sambutannya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menjelaskan suhu bumi dan cuaca makin memanas membuat kekeringan, yang berimbas pada krisis pangan. Hal ini juga membuat adanya 19 negara mengerem ekspor komoditas pangan seperti beras.

Bukti “kiamat” perubahan iklim makin dekat ada di mana-mana. Fenomena dan peristiwa di berbagai belahan Bumi menjadi peringatan bahwa nasib manusia makin suram jika pemanasan global akibat perilaku manusia, terus dibiarkan.

Penguin kehilangan rumah

Kematian anak-anak penguin terus terjadi di Antartika. Hingga kini, diperkirakan lebih dari 10.000 anak penguin tewas.

Es laut yang meleleh membuat anak penguin tenggelam atau mati kedinginan, sebelum mereka dapat mengembangkan bulu penahan air yang diperlukan untuk berenang di laut.




Penguin di Antartika (Alexandre Meneghini/Reuters)



Peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 2022 terjadi di sebelah barat benua di kawasan yang menghadap ke Laut Bellingshausen.

Melansir BBC, lebih dari 90% koloni penguin diperkirakan akan punah pada akhir abad ini, seiring dengan mencairnya es laut musiman di benua tersebut akibat pemanasan global yang terus berlanjut.

Sejumlah wilayah juga diprediksi jadi paling terdampak dari panas maupun kelembaban ekstrem. Mulai dari Asia Tenggara, sebagian Brasil dan Afrika Barat.

Untuk saat ini, Bumi sudah berada dalam 1,2 derajat Celcius lebih hangat dari masa pra-industri. Dampaknya juga telah dirasakan, yakni cuaca ekstrem yang terjadi di Bumi.

Daun berhenti melepas oksigen

Seperti yang kita tahu, hutan menjadi paru-paru Bumi, karena pohon yang menjalankan fotosintesis menyerap karbon dioksida dan melepas oksigen ke atmosfer.

Pohon di hutan biasanya terpapar sinar matahari dan menyerap air dengan akarnya. Namun, karena matahari terlalu terik membuat temperatur terlampau panas, sehingga bisa membuat proses fotosintesis berhenti.




Foto: Ilustrasi Hutan. REUTERS/Stephane Mahe



Tim Northern Arizona University menggunakan data suhu permukaan Bumi dari ECOSTRESS NASA untuk mencari tahu dedaunan di hutan tropis yang “kepanasan” hingga tak bisa berfotosintesis.

Analisis menemukan bahwa temperatur di kanopi hutan memuncak di suhu 34 derajat Celcius pada musim kering, meskipun sebagian daun mencapai suhu 40 derajat Celcius. Sebagian kecil daun, yaitu 0,01 persen dari sampel melampaui temperatur krisis (46,7 derajat Celcius) paling tidak sekali sepanjang musim kering.

Menurut laporan ScienceAlert, pohon menutup pori-pori di daunnya yang dinamakan stomata, untuk menghemat air setiap suhu terlalu panas.

Namun, penutupan stomata membuat daun berpotensi rusak karena tidak bisa “mendinginkan diri” lewat proses transpirasi. Pada periode kering, saat tanah mengeras, dampak suku panas bisa makin parah.

Simulasi menunjukkan bahwa 1,4 persen dari pucuk kanopi hutan bisa berhenti berfotosintesis dalam beberapa waktu ke depan sebagai dampak dari pemanasan global.

Jika pemanasan global melewati 3,9 derajat Celcius, seluruh hutan bisa tidak tahan. Daun bakal kering dan pohon di seluruh hutan mati satu demi satu.

Es kutub mencair

Perubahan iklim sudah terasa hingga di Antartika, benua ujung di Kutub Selatan Bumi yang diselimuti es karena suhu dingin ekstrem. Salah satu bongkahan es (glacier) di sisi barat Antartika sudah meleleh signifikan, bahkan ilmuwan menyebutnya ‘kiamat glasier’.

Es laut di wilayah Antartika pun sudah menyusut ke titik terendah dalam sejarah, menurut laporan Time, dikutip Rabu (9/8/2023).




Foto: via REUTERS/PNRA
Jumlah lapisan es laut yang mengelilingi Benua Antarktika kini sudah berkurang dari sebelumnya. Hal itu ditangkap oleh satelit yang sudah digunakan sejak akhir 1970-an.



Fenomena ini merupakan hasil dari kegagalan manusia menjaga lingkungan, salah satunya dengan tidak mengurangi jumlah emisi karbon. Para ilmuwan sudah lama mewanti-wanti risiko perubahan iklim yang mengancam ekosistem di Antartika.

“Antartika yang berubah drastis memiliki dampak buruk untuk planet kita,” kata profesor geosciences di University of Exeter, Martin Siegert.

Siegert dan timnya menulis riset berjudul ‘Frontiers in Environmental Science’ untuk memahami seperti apa perubahan iklim yang terjadi akibat pembakaran fosil dan pengaruhnya terhadap atmosfer, pola cuaca, es laut, es darat, hingga ekosistem biologis.

Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa perubahan iklim berdampak lebih buruk di wilayah-wilayah yang sebelumnya dinilai tak terlalu terimbas oleh pemanasan global. Misalnya saja Antartika yang selama ini menjadi wilayah terdingin di dunia.

Manusia punya 10 tahun lagi

Sekitar 2030, Bumi diprediksi akan memiliki temperatur di atas ambang batas 1,5 derajat Celcius. Lembaga Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menyebut kondisi tersebut sebagai dekade paling penting selama sejarah manusia.

PBB mengimbau semua penduduk dunia melakukan pengurangan emisi global secara drastis. Ketua IPCC Lee Hoesung menjelaskan pihaknya sudah mengetahui cara untuk menghindari ‘kiamat’ ini. Namun, masalahnya terletak pada kepentingan politik.

“Kami tahu caranya, teknologi, peralatan, dan anggaran – semua yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan iklim yang sudah kita kenali sejak lama. Satu-satunya yang kurang adalah kemauan politik yang kuat,” kata Lee Hoesung, dikutip dari AFP, Rabu (30/8/2023).

Jika suhu Bumi melampaui batas 1,5 derajat, sejumlah dampak akan dirasakan penghuni Bumi termasuk manusia. Misalnya peningkatan laju kepunahan spesies, gagal panen, hingga “tipping point” dari perubahan sistem iklim berupa kematian koral dan mencairnya es di kutub.

IPCC memprediksi saat laju pemanasan mencapai 1,8 derajat Celcius setengah manusia di Bumi bakal hidup di tengah panas dan kelembaban ekstrem tahun 2100 menatang.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Jam Kiamat New York Bergerak Maju, Sisa Waktu Tinggal Segini

(dem/dem)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *