Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan tahun 2020. Salah satu poinnya adalah larangan menggabungkan media sosial dengan e-commerce.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengingatkan untuk melakukan pembatasan dan pengawasan terhadap platform tersebut. Termasuk juga membuka izin dan sistem yang berbeda bagi dua platform.
Pengawasan juga bukan hanya di dunia maya saja. Tauhid mengingatkan platform digital harus diawasi secara langsung, misalnya terkait ketersediaan produk lokal, aturan barang impor, atau standarisasi lainnya.
“Pengawasan tidak hanya di dunia maya tapi riilnya bagaimana menjaga 30% minimal produk UMKM atau harus lebih tinggi, harus diselidiki. Barang-barang impornya udah punya pajak atau lebih tinggi. SNI ada misalkan,” kata Tauhid kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/5/2023).
Bukan hanya itu, Tauhid juga mengingatkan untuk pemerintah bisa melakukan penguatan dari sisi UMKM. Jangan sampai sisi perdagangan telah diatur, namun industrinya hanya didiamkan saja.
Algoritma juga jadi salah satu hal penting dalam revisi aturan tersebut. Permendag yang baru akan mengatur penggunaan data dan melarang data dari dua platform, media sosial dan e-commerce, disatukan.
Salah satu platform yang terdampak adalah TikTok yang kemungkinan harus memisahkan layanan TikTok Shop. Namun ini bukan tidak mungkin keduanya masih berbagi data meski sudah dipisahkan.
“Sangat mungkin terjadi, kan satu perusahaan, induknya sama,” kata Tauhid.
Terkait social-commerce dalam praktiknya memang sangat berbeda dengan e-commerce. Tauhid menjelaskan dari segi promosi, s-commerce punya cara yang atraktif misalnya disertai dengan video atau ilustrasi produk.
Sementara e-commerce hanya menggunakan foto atau video singkat dan menuliskan spesifikasi barang yang dijual. Begitu pula dengan data yang didapatkan juga jauh lebih besar dibandingkan e-commerce.
“Orang yang punya platform digital bisa profiling, misalnya kita daftar di aplikasi seluruh data di hp kita bisa saja bisa diambil: berapa penghasilan, karakteristik, biasa berpergian kemana, belanja kemana, profiling kesukaan, hobi, sampai baju, sepatu, dan HP,” jelasnya.
Platform e-commerce bukannya tidak menggunakan hal serupa. Namun menurut Tauhid, masih kalah canggih dengan yang diterapkan oleh s-commerce.
“E-commerce sudah mulai mencoba. Tapi kalah canggih dengan yg social lebih kuat, apalagi kalau aplikasi mensyaratkan semua data yang ada di HP kita bisa dicopy,” ungkap Tauhid.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Influencer Bikin Rugi, Ecommerce Ganti Pakai Karyawan Sendiri
(npb/npb)