Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap kapan puncak musim hujan di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk DKI Jakarta dan sekitarnya.
Hujan memang mulai menyapa sejumlah wilayah di Pulau Jawa, termasuk kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Bahkan, beberapa daerah sempat terendam banjir akibat hujan lebat yang mengguyur.
Banjir akibat hujan deras sempat mengguyur puluhan RT di Jakarta pada Kamis (30/11). Puluhan RT itu tersebar di Jakarta Selatan hingga Jakarta Timur.
Lalu, apakah saat ini Jakarta dan sekitarnya sudah memasuki puncak musim hujan?
“Puncak musim hujan diprediksi Januari-Februari 2024. Itu berdasarkan perhitungan jumlah zona musim,” kata Deputi Meteorologi BMKG Guswanto saat dihubungi, Jumat (1/12).
Menurut Guswanto setidaknya ada 385 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 55 persen wilayah yang akan mengalami puncak musim hujan pada Januari-Februari 2024. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Jambi bagian barat, Sumatera Selatan bagian selatan, sebagian besar Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT.
Kemudian, sebagian Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Selatan, sebagian Pulau Sulawesi bagian utara, sebagian Maluku Utara, Papua Barat bagian selatan, dan Papua bagian barat.
Guswanto juga menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh soal puncak musim hujan dengan intensitas hujan yang terjadi di Jakarta sehingga menyebabkan banjir di sejumlah wilayah.
“Perhitungan hujan lebat, ringan atau ekstrem itu berdasarkan intensitasnya atau jumlah air hujan dalam satuan mm yang jatuh per satuan waktu. Sedangkan puncak musim hujan itu berdasarkan jumlah zona musim yang telah memasuki musim hujan,” jelas dia.
“Sehingga hujan lebat bisa terjadi di awal, puncak atau akhir musim hujan, dan tidak berarti hujan lebat hanya jatuh di puncak musim hujan,” paparnya menambahkan.
Efek pemanasan global?
Hujan di Jakarta yang semakin lebat bisa juga disebabkan dampak dari efek pemanasan global atau global warming.
Sebuah studi dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) menunjukkan pemanasan global membuat frekuensi hujan menjadi lebih sering dengan intensitas yang lebih deras.
“Studi kami menegaskan bahwa intensitas dan frekuensi hujan lebat yang ekstrem meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya pemanasan global,” jelas Max Kotz, penulis utama studi yang diterbitkan dalam Journal of Climate.
Studi terbaru ini sesuai dengan teori fisika hubungan klasik Clausius-Clapeyron pada 1834, yang menyatakan udara yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak uap air.
Model iklim terkini memberikan hasil yang bervariasi dalam hal seberapa kuat skala curah hujan ekstrem dan hubungannya dengan pemanasan global. Namun model-model ini cenderung meremehkan peningkatan curah hujan sebagai dampak pemanasan global tersebut.
“Dampak iklim terhadap masyarakat telah dihitung dengan menggunakan model iklim. Sekarang temuan kami menunjukkan bahwa dampak ini bisa jadi jauh lebih buruk dari yang kita duga,” kata kepala departemen PIK dan penulis studi Anders Levermann, dikutip dari ScienceDaily.
“Curah hujan ekstrem akan lebih deras dan lebih sering terjadi. Masyarakat harus bersiap untuk hal ini,” imbuhnya.
Perubahan frekuensi dan intensitas curah hujan harian yang ekstrem di atas daratan dapat berdampak pada kesejahteraan sosial, ekonomi, dan stabilitas sosial.
Hal ini mengingat keterkaitannya dengan banjir dan ketersediaan air tanah, yang dapat menyebabkan korban jiwa dan kerugian finansial yang cukup besar.
[Gambas:Video CNN]
(tim/dmi)