Jakarta, CNBC Indonesia – TikTok Shop yang merupakan platform jual-beli online di dalam aplikasi TikTok ramai dibahas sejak beberapa bulan terakhir.
Salah satunya karena pertumbuhannya yang pesat di Tanah Air. Menurut laporan firma riset Insider Intelligence, pengguna TikTok di Indonesia pada Q1 2023 sebanyak 113 juta atau terbanyak di Asia Tenggara.
Bahkan, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah AS sebagai negara dengan pengguna TikTok terbesar secara global.
Dengan basis pengguna sebesar itu, tak butuh waktu lama bagi TikTok Shop untuk mendulang popularitas sejak pertama kali diluncurkan di Indonesia pada April 2021 lalu.
Terlebih, barang-barang yang dijual di TikTok Shop mematok harga relatif lebih murah ketimbang platform e-commerce lain. Platform itu juga kerap memasang diskon bagi penjual yang mempromosikan barangnya lewat TikTok Live.
Fenomena ini membuat TikTok dituduh melakukan praktik ‘predatory pricing’ yang membunuh UMKM lokal di pasar offline maupun online lainnya.
TikTok Diduga Melakukan Praktik Dumping
Sebelumnya, TikTok Shop juga disorot di pasar global lantaran ‘Project S’, yakni program internal TikTok yang ditujukan untuk menjual barang-barang hasil produksinya sendiri dari China.
Praktik ini dinilai memonopoli pasar, sebab TikTok bisa mengatur algoritma untuk mendorong penjualan barang produksinya tersebut.
Namun, pihak TikTok Indonesia menegaskan bahwa inisiatif Project S tak tersedia di Tanah Air. Anak usaha ByteDance tersebut juga mengatakan TikTok di Indonesia tidak menjalankan bisnis crossborder alias lintas negara. Artinya, barang di TikTok Shop merupakan produk yang dijajakan oleh penjual lokal.
Lantas, kok bisa harga barang di TikTok Shop lebih murah ketimbang platform lain?
Ada dugaan baru bahwa TikTok Shop melakukan praktik dumping, yakni mengekspor barang dari negara asalnya di China untuk dijual ke Indonesia dengan harga lebih murah untuk menguasai pasar.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan asumsi yang beredar soal praktik dumping TikTok Shop belum diketahui secara pasti. Namun, ia mengatakan dumping bisa jadi dilakukan oleh produsen barang.
“Yang melakukan dumping dari produsen barang tersebut, khususnya yang berasal dari produk impor,” kata Tauhid kepada CNBC Indonesia, Rabu (27/9/2023).
“Seharusnya TikTok bisa menyaring produk tersebut agar tidak muncul di platform TikTok Shop-nya,” ia menambahkan.
Adapun praktik dumping yang dilakukan oknum produsen, kata Tauhid, menggunakan beberapa skema. Misalnya barang yang dijual tidak dikenai pajak atau pajaknya kecil, memberikan subsidi harga, serta subsidi biaya logistik dan komponen lainnya.
“Produk murah juga bisa dikarenakan barang yang tidak sertifikasi di negara asal, harga bahan baku yang berada di bawah harga pasar atau secara internasional,” ia menuturkan.
Pemerintah Revisi Permendag 50 Tahun 2020
Untuk mengakomodir pasar persaingan yang sehat, pemerintah melakukan revisi Permendag 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Salah satu yang diatur adalah pemisahan platform media sosial dan e-commerce. Dengan begitu, algoritma data tidak dikuasai oleh satu perusahaan saja.
Tauhid menjelaskan platform digital dapat melakukan profiling dari data penggunanya. Mulai dari penghasilan, karakteristik, hingga hobi.
“Orang yang punya platform digital bisa profiling, misalnya kita daftar di aplikasi seluruh data di hp kita bisa saja bisa diambil. berapa penghasilan, karakteristik, biasa berpergian kemana, belanja kemana, profiling kesukaan, hobi, sampai baju, sepatu, HP,” jelasnya.
Metode ini sebenarnya juga dilakukan oleh platform e-commerce lain. Namun menurut Tauhid, masih kurang canggih dibandingkan yang dilakukan social commerce seperti TikTok.
“Tapi kalah canggih dengan yang social lebih kuat, apalagi kalau aplikasi mensyaratkan semua data yang ada di HP kita bisa di-copy,” ungkap Tauhid.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka pun mendukung kebijakan baru dari pemerintahan Jokowi tersebut.
Menurutnya, platform social commerce seperti TikTok Shop merugikan pelaku usaha dalam negeri khususnya UMKM.
Gibran menuturkan dari hasil riset kecil yang pernah ia lakukan, barang produksi dalam negeri sering kali kalah saing dengan produk impor di TikTok Shop.
“Sudah terbukti merek asli Indonesia, UMKM Indonesia yang sebelumnya berjualan di TikTok Shop akhir-akhir ini pada mengeluh sepi,” kata Gibran dikutip dari CNN Indonesia.
Para pelaku UMKM disebut mengalami shadow banning, di mana penyebaran konten mereka dibatasi atau bahkan disembunyikan sama sekali. Praktik itu dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pengguna.
“Dulu rame, ada shadow banning, ngerti-ngerti (tahu-tahu) terblokir. Ketika terblokir tiba-tiba ada produk dari China dengan spek yang sama masuk. Nakalnya di situ,” jelas dia.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
UMKM Terancam, TikTok Jual Baju Impor China Merek Sendiri
(fab)