Jakarta, CNN Indonesia —
Kisah sukses perlawanan terhadap demam berdarah dengue (DBD) dengan teknik penyebaran nyamuk berbakteri Wolbachia sudah terjadi di empat negara, termasuk RI, selama bertahun-tahun. Simak daftarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap gigitan nyamuk menularkan berbagai parasit dan virus yang mencakup 17 persen dari semua penyakit menular, termasuk malaria, demam berdarah, dan chikungunya.
Manusia pun punya berbagai senjata dan strategi untuk melawan gigitan mereka, mulai dari kelambu, insektisida, minyak di atas genangan air, dan terkini bakteri Wolbachia.
Bakteri ini terdapat pada lebih dari 60 persen serangga, termasuk capung, kupu-kupu, dan ngengat. Namun, nyamuk Aedes aegypti – vektor atau hewan pembawa penyakit yang bertanggung jawab atas sebagian besar dari 96 juta kasus demam berdarah tahunan – tak memilikinya secara alami.
Ketika bakteri Wolbachia ini dimasukkan ke dalam Aedes aegypti, virus demam berdarah tidak dapat bereplikasi pada nyamuk hasil modifikasi yang menetas.
Mekanisme pasti terjadinya hal ini masih belum jelas. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa Wolbachia mampu mengalahkan virus dalam hal sumber daya seperti lipid, atau meningkatkan respons kekebalan tubuh.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dalam keterangan resminya, mengungkap efektivitas pemanfaatan teknologi Wolbachia untuk melawan demam berdarah sudah dibuktikan di 13 negara lain selain Indonesia.
Yaitu, Australia, Brazil, Colombia, El Salvador, Sri Lanka, Honduras, Laos, Vietnam, Kiribati, Fiji, Vanuatu, New Caledonia, dan Meksiko, lanjutnya.
Melansir Nature, ada dua pendekatan untuk mengatasi demam berdarah dengan bakteri Wolbachia di berbagai negara. Pertama, pelepasan hanya nyamuk jantan yang telah dimodifikasi.
Sejak 2015, strategi ini berhasil diterapkan di Singapura dan Guangzhou (China), serta di beberapa wilayah Amerika Serikat, seperti Miami, Texas, dan California.
Karena telur yang dihasilkan dari nyamuk betina yang tidak dimodifikasi dan dikawinkan dengan nyamuk jantan yang dimodifikasi tidak menetas, jumlah nyamuk sangat berkurang.
Kedua, pelepasan nyamuk hasil modifikasi dari kedua jenis kelamin. Teknik ini sukses digunakan di beberapa kota di Vietnam, Indonesia, Malaysia, Brasil, dan Australia.
Lewat teknik ini, betina yang terinfeksi menularkan bakteri tersebut kepada keturunannya. Seiring waktu (beberapa bulan hingga tahun, tergantung pada karakteristik tempat pelepasannya), nyamuk yang dimodifikasi menggantikan populasi asli.
“Penggunaan Wolbachia sebagai alat untuk mengurangi kapasitas nyamuk menularkan demam berdarah adalah teknologi yang telah terbukti,” kata Leo Braack, spesialis pengendalian vektor di University of Pretoria, Afrika Selatan.
“Kemanjurannya telah dibuktikan dalam penelitian skala besar di banyak negara,” cetus dia.
Misalnya, ketika nyamuk yang dimodifikasi dilepaskan di Singapura pada 2018, kejadian demam berdarah diamati telah berkurang sebesar 88 persen setelah satu tahun.
Di Brasil, terdapat penurunan sebesar 69 persen dalam kasus demam berdarah yang dilaporkan selama tiga tahun dibandingkan dengan wilayah kontrol.
Di Yogyakarta, data mengungkap terjadi penurunan 77 persen kasus dalam 27 bulan setelah penyebaran nyamuk yang terinfeksi dari bulan Maret hingga Desember 2017.
“Ada banyak penelitian laboratorium yang menunjukkan bahwa nyamuk menjadi kebal [terhadap penyakit ini],” kata Scott O’Neill, peneliti penyakit yang ditularkan melalui vektor di Monash University, Melbourne, Australia, dan memelopori penelitian Wolbachia untuk demam berdarah.
Dia juga merupakan pendiri organisasi nirlaba World Mosquito Program, yang bekerja dengan pemerintah dan komunitas dalam program pelepasan Wolbachia, yang saat ini tersebar di 11 negara, dari Melbourne, Ho Chi Minh City (Vietnam), dan Panama City di Amerika Tengah.
Daftar negara yang terapkan Wolbachia di halaman berikutnya…