Jakarta, CNN Indonesia —
Rancangan kesepakatan iklim PBB, COP28 pada hari Rabu menyerukan agar dunia beralih dari bahan bakar fosil. Ini dianggap menjadi upaya terakhir untuk memecahkan kebuntuan antara negara-negara yang menginginkan penghentian penggunaan minyak, gas, dan batu bara serta produsen minyak mentah yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Setelah negosiasi yang berjalan alot, teks yang diusulkan oleh kepresidenan Emirat pada KTT COP28 di Dubai, jika diadopsi, akan menandai pertama kalinya semua bahan bakar fosil dibahas dalam 28 tahun sejarah konferensi iklim internasional.
Teks tersebut menyerukan untuk “beralih dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur dan merata, mempercepat tindakan dalam dekade yang kritis ini, untuk mencapai titik nol pada tahun 2050 sesuai dengan sains”.
Meskipun dokumen tersebut tidak menyebutkan “penghentian” yang diminta oleh negara-negara Barat dan negara-negara kepulauan yang paling rentan terhadap naiknya permukaan laut dan badai tropis, namun rumusannya lebih kuat dibandingkan dengan draf sebelumnya yang ditolak mentah-mentah.
Para pemerintah tidak segera merespons hal tersebut, namun tanggapan dari para aktivis iklim beragam. Beberapa mengatakan ini merupakan langkah maju yang penting sementara lainnya kecewa karena tidak ada penyebutan penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.
Teks tersebut “mengirimkan sinyal kuat bahwa para pemimpin dunia mengakui bahwa peralihan tajam dari bahan bakar fosil ke energi bersih dalam dekade kritis ini dan seterusnya, yang selaras dengan sains, sangat penting untuk mencapai tujuan iklim kita,” ujar Rachel Cleetus, direktur kebijakan di Union of Concerned Scientists, mengutip AFP, Rabu (13/12).
Stephen Cornelius dari kelompok konservasi WWF menyuarakan kekecewaannya atas minusnya “penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara menyeluruh,” namun ia juga mengatakan bahwa draf kesepakatan ini “akan menjadi momen yang penting.”
Seruan yang lebih kuat
Konferensi iklim yang digelar selama dua minggu di Dubai ini seharusnya berakhir pada hari Selasa, namun diperpanjang karena negara-negara berjuang untuk menyepakati apa yang harus dilakukan terhadap bahan bakar fosil, penyebab utama krisis iklim.
Pertemuan COP terbesar yang pernah ada ini dihadiri oleh lebih dari 88.000 orang, termasuk jumlah pelobi yang mencapai rekor dari industri bahan bakar fosil.
Presiden COP28, Sultan Al Jaber, yang mengepalai perusahaan minyak nasional Uni Emirat Arab, dicurigai para aktivis iklim. Mereka khawatir industri bahan bakar fosil akan menang lagi.
Jaber telah mengajukan rancangan pada hari Senin yang ditolak mentah-mentah karena dianggap terlalu lemah karena hanya menyarankan agar negara-negara “dapat” mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil, di antara opsi-opsi lainnya.
Negara-negara kepulauan, yang didukung oleh negara-negara Barat, menjawab bahwa mereka tidak akan menandatangani “surat perintah kematian” mereka sendiri, memaksa Jaber kembali ke meja perundingan.
Ia mengadakan pembicaraan hingga larut malam dengan para negosiator dari seluruh dunia di kantornya di kompleks Expo City yang luas. Para pejabat Eropa telah mengisyaratkan bahwa mereka bersedia untuk menemukan bahasa kompromi sementara utusan iklim AS John Kerry mengatakan bahwa “kemajuan” telah dicapai dalam pembicaraan tersebut.
Draf baru ini secara eksplisit “meminta” semua negara untuk berkontribusi melalui serangkaian tindakan, termasuk transisi dari bahan bakar fosil.
Meskipun tidak menggunakan istilah “penghentian” bahan bakar fosil, rancangan ini mendukung upaya untuk mengurangi “tenaga batu bara tanpa henti”. Ini berarti batu bara dengan teknologi penangkap karbon untuk mengurangi emisi, yang dianggap oleh banyak aktivis lingkungan sebagai tidak terbukti, dapat terus berlanjut.
Dokumen ini juga menyerukan “penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien yang tidak mengatasi kemiskinan energi atau transisi yang adil, sesegera mungkin”.
Teks tersebut merupakan “sinyal yang lebih kuat daripada teks rancangan sebelumnya. Namun, hal ini membuka pintu bagi gangguan berbahaya seperti penangkapan karbon”, kata Caroline Brouillette, direktur eksekutif Climate Action Network Canada.
(tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]