Cerita Ironis Petani Muaro Jambi, Terpaksa Beli Beras Imbas El Nino


Jambi, CNN Indonesia —

Sopian (62) berkali-kali nugal alias menancapkan kayu berujung runcing untuk menghasilkan lubang-lubang kecil di sawahnya di tengah terik Matahari pertengahan Oktober.

Permukaan area sawah miliknya di Desa Tunas Mudo, Kecamatan Sakernan, Muaro Jambi, Jambi, kering dan pecah-pecah lantaran sebulan tak mandi hujan.

Satu demi satu bibit dibenamkan ke lubang Sopian perjuangkan sedari tadi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kalau dalam seminggu atau dua minggu tidak hujan lagi, pasti gagal panen lagi. Kita takut padi mutung (kering), gagal panen lagi. Tapi mungkin nanti hujan. Biasanya kalau padi ini bagus, panen pertama untuk makan, panen kedua untuk modal,” kata dia, yang juga merupakan Wakil Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) Mandiri itu, belum lama ini.

Persawahan di Desa Tunas Mudo merupakan sawah tadah hujan yang luasnya mencapai 56 hektare. Per hektarnya bisa menghasilkan padi seberat empat sampai lima ton. Sumber pangan ini dikelola oleh sekitar 150 keluarga yang tergabung dalam kelompok petani.

Mereka menanam sebanyak dua kali dalam satu tahun dengan menggunakan bibit padi lokal dan Inpara (bantuan dari pemerintah). Kegiatan ini sering dilakukan secara bergotong royong yang disebut pelarian.

Namun, kata Sopian, hanya berkisar 20 persen persawahan yang berhasil dipanen pada bulan Juni tahun ini. Selebihnya mengalami gagal panen sebagai imbas kekeringan.

Sopian mengatakan sejak tahun 2010 para petani di Desa Tunas Mudo sudah merasakan dampak perubahan iklim yang ditandai musim dan cuaca yang tidak lagi menentu. Semenjak itu, risiko mengalami gagal panen semakin besar.

“Tidak menentu lagi musimnya. Semenjak tahun 2010 ini kayaknya. Cuaca tidak menentu, kami kebingungan kapan menanam,” katanya.

Hingga 16 Oktober 2023, UPTD Balai Pelindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi (TPHP) Jambi Jambi mendapatkan laporan persawahan gagal panen di Jambi imbas kekeringan mencapai 88,50 hektare.

Laporan ini belum termasuk gagal panen yang dialami Desa Tunas Mudo.

Kondisi ini diperparah dengan belum adanya sistem pengairan yang memadai untuk bertani di tengah krisis iklim. Tidak ada embung atau penampungan air berskala besar untuk mengairi sawah saat musim kering.

Selain itu, bendungan yang digunakan untuk mengatur debit air mengalami kerusakan. Jika terjadi hujan lebat, air tidak bisa ditahan sehingga membanjiri persawahan di desa tersebut.

“Tahun 2003 itu dibangun. Tetapi sekarang ini tidak berfungsi. Airnya tidak lancar. Ada yang tidak tertutup, sehingga bisa kebanjiran,” ujar Sopian.

Tidak hanya itu, para petani Desa Tunas Mudo ternyata belum mendapatkan bantuan pupuk untuk meningkatkan produktivitas. Sedangkan bantuan bibit kadang kala terlambat atau tiba di waktu yang tidak tepat untuk menanam.

Namun, ujar Sopian, warga Desa Tunas Mudo akan terus mempertahankan persawahan walau dilanda berbagai kesulitan. “Sebagai petani kita memikirkan ke depan. Tahun 2024 dan ke depan kalau seperti ini terus, masalah pangan di Indonesia akan semakin besar,” katanya.

Ia berharap pemerintah segera memberikan bantuan untuk petani dalam menghadapi krisis iklim. Bantuan yang dimaksud, misalnya pembangunan irigasi yang memadai serta tempat penampungan air berkapasitas besar untuk menyediakan air di kala musim kering.

“Kalau bisa dibuatkan embung untuk mengairi sawah. Jangan tunggu hibah satu hektare dari warga. Kalau beli atau ganti rugi, mungkin warga baru mau,” katanya.

Terpaksa Beli Beras

Bagi warga Desa Tunas Mudo, gagal panen yang dialami tahun ini berdampak cukup besar. Mereka terpaksa membeli beras yang sudah mengalami kenaikan harga.

Padahal, mereka sebelumnya bisa mengumpulkan beras hasil memanen yang cukup selama hampir setahun.

“Cuma dapat empat karung (beras). Kalau sebelumnya dapat 35 karung, sudah bersih. Kalau tahun ini banyak gagal. Terpaksa beli beras, kalau dak sanggup beli beras yang murah,” kata perempuan bernama Sopiah (60) di tengah kegiatan menanam.

Senada, warga bernama Rita Efianti (35) pun terpaksa membeli beras imbas gagal panen yang cukup besar. Tahun ini, persawahannya hanya menghasilkan empat karung beras.

Walau demikian, Rita, Sopiah, dan para perempuannya lainnya, tetap menanam padi untuk yang kedua kalinya dalam tahun ini. Telapak tangan mereka sampai mengalami kapalan karena berkali-kali nugal di lahan yang kering.

Di balik itu, mereka sebenarnya khawatir persawahan di sana akan mengalami gagal panen lagi.

“Kalau gagal panen lagi, kita sama-sama. Kita kompak. Kalau Tuhan kita mengasih rezeki, insya Allah panen,” ujar Sopiah.

Sekretaris Desa Tunas Mudo, Marjoni, pun menyampaikan tahun ini dampak perubahan iklim dan kekeringan cukup terasa bagi warga desa tersebut. Apalagi persawahan di Desa Tunas Mudo merupakan sawah tadah hujan dan tidak dialiri air sungai.

“Musim El Nino itulah. Biasanya persawahan di sini bagus. Kalau kemarau selama tiga bulan, belum kering. Sawahnya tadah hujan, jadi bergantung dengan air hujan. Desa Tunas Mudo berada di dataran rendah,” katanya.

Kelompok petani sebenarnya sudah mengusulkan agar dibangun penampung air berskala besar untuk mengairi persawahan. Namun, usulan itu belum membuahkan hasil dari Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Muaro Jambi.

“Paling dari kelompok petani yang menyampaikan. Kalau dari pemerintah desa, kemarin kami mengusulkan parit sanitasi ke balai sungai,” kata Marjoni.

Pemerintah Desa Tunas Mudo, ujar Marjoni, sudah mempunyai program ketahanan pangan yang baru saja dibuat tahun ini.

Dengan program itu, Pemerintah Tunas Mudo pada tahun 2024 akan menggunakan 20 persen anggaran untuk membangun jalan sepanjang 300 meter di titik tertentu untuk mempelancar pengiriman hasil pertanian, juga mengadakan bantuan pupuk yang selama ini dibutuhkan para petani di desa itu.

Strategi pertahanankan lahan di halaman berikutnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *