Jakarta, CNN Indonesia —
Sebuah studi terbaru menyebut Bumi mulai dari standar layak huni sebuah planet, di antaranya karena polusi udara dan laut.
Studi tersebut menyebut Bumi telah melampaui ruang yang aman bagi umat manusia dalam enam dari sembilan variabel pengukuran yang menentukan kesehatan Bumi.
Para ilmuwan mengatakan iklim, keanekaragaman hayati, tanah, air tawar, polusi nutrisi, dan bahan kimia baru (senyawa buatan manusia seperti mikroplastik dan limbah nuklir) di Bumi semuanya sedang dalam keadaan tidak stabil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tingkat keasaman lautan, kesehatan udara, dan lapisan ozon masih berada dalam batas-batas yang dianggap aman, tetapi polusi laut dan udara berada dalam tingkatan yang buruk.
“Kita berada dalam kondisi yang sangat buruk. Kami menunjukkan dalam analisis ini bahwa planet ini kehilangan daya tahan tubuh dan sedang sakit,” Johan Rockstrom, penulis studi sekaligus direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman, dikutip dari AP.
Pada 2009, Rockstrom dan peneliti lainnya membuat sembilan batas dan menggunakan pengukuran ilmiah untuk menilai kesehatan Bumi secara keseluruhan.
Makalah yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada Rabu (13/9) ini merupakan pembaruan dari tahun 2015 dan menambahkan faktor keenam ke dalam kategori tidak aman.
Dalam studi baru ini air berubah dari kategori nyaris aman menjadi kategori di luar batas aman karena limpasan air sungai yang memburuk dan pengukuran serta pemahaman yang lebih baik mengenai masalah ini.
Rockstrom menyebut batas-batas ini menentukan nasib planet Bumi karena sembilan faktor tersebut telah “ditetapkan secara ilmiah” oleh berbagai penelitian.
Jika Bumi dapat mengelola kesembilan faktor ini, Bumi bisa relatif aman. Sayangnya, kondisi saat ini tidak seperti itu.
Para peneliti menggunakan pendekatan lintas ilmu untuk membuat ambang batas yang terukur untuk batas keamanan.
Sebagai contoh, mereka menggunakan 350 ppm karbon dioksida di udara untuk perhitungan ambang batas, bukan 1,5 derajat pemanasan yang ditetapkan dalam perjanjian iklim Paris sejak masa pra-industri dalam perhitungan tingkat kesehatan udara.
Tahun ini, karbon di udara mencapai puncaknya di angka 424 ppm, sangat jauh di atas ambang batas amannya.
Para peneliti mengatakan sembilan faktor tersebut saling terkait.
Pasalnya, ketika tim menggunakan simulasi komputer, mereka menemukan bahwa memperburuk satu faktor, seperti iklim atau keanekaragaman hayati, akan memperburuk masalah lingkungan Bumi lainnya. Di sisi lain, memperbaiki satu faktor akan membantu faktor lainnya.
Rockstrom mengatakan ini seperti simulasi uji stres untuk planet ini.
Simulasi tersebut menunjukkan salah satu cara paling ampuh yang dimiliki manusia untuk memerangi perubahan iklim adalah dengan membersihkan lahan dan menyelamatkan hutan.
Mengembalikan hutan ke tingkat yang sama seperti pada akhir abad ke-20 akan menjadi penyerap alami yang substansial untuk menyimpan karbon dioksida, sehingga karbon dioksida tidak berada di udara dan berujung memerangkap panas.
Salah satu variabel, yaitu keanekaragaman hayati berada dalam kondisi yang paling mengkhawatirkan dan tidak mendapatkan perhatian sebanyak isu-isu lain, seperti perubahan iklim.
“Keanekaragaman hayati sangat penting untuk menjaga siklus karbon dan siklus air. Masalah terbesar yang kita hadapi saat ini adalah krisis iklim dan krisis keanekaragaman hayati,” kata Rockstrom.
[Gambas:Video CNN]
(lom/arh)