Jakarta, CNN Indonesia —
Founder CEO BRI Ventures Nico Widjaja menjelaskan fenomena gelembung ekonomi pecah atau bubble burst yang terjadi di perusahaan-perusahaan rintisan alias startup Indonesia beberapa tahun terakhir bisa menghasilkan efek positif.
Hal ini ia sampaikan dalam acara Digital Creative Leadership Forum yang diselenggarakan oleh CNN Indonesia pada Kamis (9/11), di Kempinski Grand Ballroom, Jakarta Pusat.
Bubble burst adalah kondisi saat kenaikan ekonomi melaju cepat tetapi cepat pula jatuhnya. Kondisi itu sempat terjadi pada industri startup di dalam negeri, karena pertumbuhannya yang instan pada awal pandemi, tapi merosot tajam sampai berakibat pada pengurangan karyawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Bubble burst itu sangat serius sekali,” ujar Nico, memperkirakan ledakan ini bakal terjadi pada 2020 lalu, “Karena 2020 ada Covid-19, justru itu membuat semua perusahaan teknologi sahamnya naik karena permintaan meningkat.”
Melalui saham yang meningkat pesat, maka perusahaan-perusahaan tersebut memulai suatu manuver untuk meningkatkan produksi.
Saat itu, ia memperkirakan situasi tersebut tak bertahan lama. Namun satu tahun berselang, perusahaan startup justru banyak melakukan proses rekrutmen yang dinilainya berlebihan.
“Nah pada 2021 ternyata sama. Malah lebih tinggi dari sebelumnya,” sambung Nico.
“Di sinilah terjadi over hiring, dan itu terjadi enggak cuma di Indonesia,” tegasnya.
Fenomena ini, menurut Nico, juga terjadi di beberapa wilayah berbeda, termasuk negara dengan situasi ekonomi yang lebih stabil seperti Amerika Serikat. Puncak dari situasi ini kemudian terjadi pada 2022, ketika proses rekrutmen pekerja terlalu berlimpah.
Hal ini menimbulkan ekses dari hiring tadi, dan perhitungan yang salah dalam valuasi startup.
“Masuk ke 2022, [fase] new normal, yang mana kita kembali ke traditional mindset,” ujar Nico.
“Ini menimbulkan adanya ekses dari proses hiring tadi, serta perhitungan yang salah dalam valuasi startup,” tambahnya.
Namun, Nico menyoroti hal penting yang dapat disaring melalui fenomena bubble burst tersebut.
“Nah, 2022 akhirnya koreksi terjadi, ketika koreksi terjadi, orang mikir 2023 bakal ada konsolidasi dan merger [dari perusahaan besar]. Ternyata belum,” ujar Nico.
“Nah, ini mungkin akan ada fenomena yang menarik sekali untuk diperhatikan. Bubble burst mungkin akan menimbulkan sesuatu yang sustainable,” pungkas dia.
[Gambas:Video CNN]
(far/dmi)