Jakarta, CNN Indonesia —
Fenomena iklim pengering hujan El Nino masih berlangsung saat musim hujan tiba di sebagian besar wilayah Indonesia, salah satunya Jabodetabek. Hal ini disebut membuat dampaknya mulai berkurang.
“Khusus wilayah Jabodetabek, karena kita sudah mulai memasuki awal musim penghujan di November ini maka dampak El ninonya ini sudah mulai berkurang,” Miming Saepudin, Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG di acara Kesiapsiagaan Menghadapi Musim Hujan di Provinsi DKI Jakarta secara daring, Rabu (15/11).
BMKG sejak awal tahun memprediksi El Nino terutama menguat pada Agustus, September, Oktober, dan berdampak khususnya di wilayah bagian selatan khatulistiwa, termasuk Jawa hingga Nusa Tenggara. Efeknya adalah kekeringan karena amat jarang kena hujan.
Berdasarkan data terbaru BMKG, berbagai indek menunjukkan El Nino pada level moderat. Yakni, Southern Oscillation Index (SOI) pada angka -10.2, dan Indeks NINO 3.4 pada angka +1.62.
Miming melanjutkan El Nino di Indonesia masih akan berlangsung hingga Januari atau Februari 2024. BMKG dan beberapa pusat iklim dunia bahkan memprediksi El Nino pada level moderat bisa bertahan hingga April 2024.
“El Nino yang saat ini berdampak pada puncak kekeringan yang cukup panjang di wilayah Indonesia secara umum ini sebenarnya masih aktif hingga periode awal tahun Januari Februari,” ujarnya.
Ketika El Nino terjadi di musim kemarau, dampaknya adalah puncak kekeringan yang lebih panjang dan lebih intens. Selain itu, musim kemarau juga bisa terjadi lebih panjang.
Sementara jika El Nino terjadi di musim hujan, fenomena ini akan membuat musim hujan lebih mundur. Kemudian, musim hujan juga akan mengalami curah hujan yang lebih rendah dari biasanya.
“Dampaknya untuk wilayah DKI Jakarta itu adalah salah satunya nanti musimnya agak mundur untuk musim hujannya kekeringannya agak panjang gitu,” ucap dia.
Selain El Nino, Maming juga menyoroti nasib fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang juga menyumbang kondisi kering yang dialami sebagian besar wilayah Indonesia.
Seperti El Nino, fenomena IOD positif juga diperkirakan masih ada meski telah memasuki musim hujan. BMKG dan beberapa pusat iklim dunia bahkan memprediksi IOD positif akan bertahan hingga akhir 2023.
IOD sendiri merupakan fenomena iklim yang terjadi di Samudra Hindia. IOD didefinisikan sebagai perbedaan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) antara wilayah Timur dan Barat Samudra Hindia.
Sementara itu, El Nino merupakan fenomena pemanasan muka air laut di Samudera Pasifik yang berdampak pada penurunan curah hujan global, termasuk di Indonesia.
Faktor angin
Maming memaparkan musim hujan ini ditandai dengan aliran angin monsun Asia, yakni angin pembawa uap air dari Benua Asia, yang menandai musim hujan di RI.
Kebalikannya adalah angin monsun Australia yang kering yang menandai musim kemarau.
“Musim hujan sedang puncak yaitu apa ditandai dengan monsunnya yang yang sudah konsisten, monsun Asianya sudah konsisten,” jelasnya.
“Nah monsun Asia ini ditandai dengan angin Baratan. Jadi kalau wilayah DKI Jakarta dia anginnya itu sudah mulai Baratan atau dari barat laut maka itu maka itu bisa kita katakan monsunnya itu sudah aktif,” imbuhnya.
Untuk puncak musim hujannya, Maming memprediksi itu akan terjadi di awal tahun 2024.
“Nah ketika monsun [Asia] sudah aktif periode Desember Januari Februari sudah bisa dipastikan itu sudah mulai full-nya periode musim penghujan,” tandas dia.
[Gambas:Video CNN]
(lom/arh)