Jakarta, CNN Indonesia —
Isi kesepakatan Perjanjian Paris kembali digaungkan di tengah-tengah pelaksanaan konferensi iklim COP28 yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab.
Salah satu poin kesepakatan Perjanjian Paris adalah seluruh dunia harus membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 derajat Celsius pada 2030.
Namun, kenaikan suhu tersebut diprediksi akan datang lebih cepat, karena hingga akhir Oktober menunjukkan bahwa suhu tahun ini sudah naik sekitar 1,4 derajat Celsius di atas garis dasar pra-industri.
Lalu, apa sebetulnya Perjanjian Paris?
Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim. Perjanjian ini diadopsi oleh 196 negara pada COP21 yang digelar di Paris, Perancis, pada 12 Desember 2015.
Kesepakatan ini mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016, mengutip laman United Nations Climate Change.
Tujuan utamanya adalah untuk menjaga “peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri” dan mengupayakan “untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.”
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin dunia telah menekankan perlunya membatasi pemanasan global hingga 1,5°C pada akhir abad ini.
Hal ini karena Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB menunjukkan bahwa melampaui ambang batas 1,5°C berisiko menimbulkan dampak perubahan iklim yang jauh lebih parah, termasuk kekeringan yang lebih sering dan parah, gelombang panas, dan curah hujan.
Untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, emisi gas rumah kaca harus mencapai puncaknya paling lambat sebelum tahun 2025 dan menurun sebesar 43 persen pada tahun 2030.
Perjanjian Paris merupakan tonggak penting dalam proses perubahan iklim multilateral karena, untuk pertama kalinya, perjanjian yang mengikat menyatukan semua negara untuk memerangi perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya.
Bagaimana cara kerja Perjanjian Paris?
Implementasi Perjanjian Paris memerlukan transformasi ekonomi dan sosial berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik yang ada.
Perjanjian Paris bekerja berdasarkan siklus lima tahun aksi iklim yang semakin ambisius, atau semakin meningkat, yang dilakukan oleh berbagai negara.
Sejak tahun 2020, negara-negara telah mengajukan rencana aksi iklim nasional mereka, yang dikenal sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Setiap NDC berturut-turut dimaksudkan untuk mencerminkan tingkat ambisi yang semakin tinggi dibandingkan versi sebelumnya.
Menyadari bahwa tindakan yang dipercepat diperlukan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat C, keputusan yang mencakup COP27 meminta Para Pihak untuk meninjau kembali dan memperkuat target tahun 2030 dalam NDC mereka.
Tujuannya, agar selaras dengan sasaran suhu Perjanjian Paris pada akhir tahun 2023, dengan mempertimbangkan target suhu nasional yang berbeda.
Dalam NDC, negara-negara mengomunikasikan tindakan yang akan mereka ambil untuk mengurangi emisi gas rumah kaca guna mencapai tujuan Perjanjian Paris.
Negara-negara juga menyampaikan tindakan NDC yang akan mereka ambil untuk membangun ketahanan dalam beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Tidak hanya itu, Perjanjian Paris menegaskan kembali bahwa negara-negara maju harus memimpin dalam memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara yang kurang beruntung dan lebih rentan, sekaligus untuk pertama kalinya juga mendorong kontribusi sukarela dari Pihak lain.
Pendanaan iklim diperlukan untuk mitigasi karena diperlukan investasi skala besar untuk mengurangi emisi secara signifikan.
Pendanaan iklim juga sama pentingnya untuk adaptasi karena diperlukan sumber daya keuangan yang besar untuk beradaptasi terhadap dampak buruk dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Tidak semua negara berkembang memiliki kapasitas yang memadai untuk menghadapi berbagai tantangan akibat perubahan iklim.
Oleh karena itu, Perjanjian Paris memberikan penekanan besar pada peningkatan kapasitas terkait iklim di negara-negara berkembang dan meminta semua negara maju untuk meningkatkan dukungan terhadap tindakan peningkatan kapasitas di negara-negara berkembang.
Rekor-rekor ‘Neraka Bocor’ di 2023 (Foto: CNNIndonesia)
Lewat Perjanjian Paris, negara-negara membentuk kerangka transparansi yang ditingkatkan (ETF).
Di bawah ETF, mulai tahun 2024, negara-negara akan melaporkan secara transparan mengenai tindakan yang diambil dan kemajuan dalam mitigasi perubahan iklim, langkah-langkah adaptasi dan dukungan yang diberikan atau diterima.
Perjanjian ini juga mengatur prosedur internasional untuk meninjau laporan yang diserahkan.
Informasi yang dikumpulkan melalui ETF akan dimasukkan ke dalam inventarisasi global yang akan menilai kemajuan kolektif menuju tujuan iklim jangka panjang.
Hal ini akan menghasilkan rekomendasi bagi negara-negara untuk menetapkan rencana yang lebih ambisius pada putaran berikutnya.
[Gambas:Video CNN]
(rfi/dmi)