Ahli NASA Ungkap Cara El Nino Terbentuk, Ingatkan Beda Nasib AS dan RI


Jakarta, CNN Indonesia —

Ilmuwan di Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) menjelaskan awal mula terbentuknya fenomena iklim El Nino, yang memicu kekeringan cukup parah di Indonesia, dengan efek yang berbeda antara RI dengan wilayah lainnya.

“Setiap El Nino sedikit berbeda,” kata Josh Willis, ilmuwan di proyek Sentinel-6 Michael Freilich di Jet Propulsion Laboratory NASA, California, AS.

NASA menyebut dampak El Nino, yang berpusat di wilayah tertentu Samudera Pasifik, juga sangat bervariasi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satelit seperti US-European Sentinel-6 Michael Freilich pun disebut membantu mengantisipasi dampak tersebut dalam skala global dengan melacak perubahan ketinggian permukaan laut di Samudera Pasifik.

Sentinel-6 Michael Freilich merupakan satelit terbaru yang berkontribusi terhadap pencatatan permukaan laut selama 30 tahun yang digunakan para peneliti untuk membandingkan El Niño tahun ini dengan El Niño tahun lalu.

Pakar menyebut El Nino bermula saat perairan menghangat dan memicu kenaikan air laut.

“Air mengembang saat memanas, sehingga permukaan laut cenderung lebih tinggi di tempat yang airnya lebih hangat,” menurut keterangan NASA.

“El Nino ditandai dengan permukaan air laut yang lebih tinggi dari normal level lautan dan lebih hangat dari rata-rata suhu lautan sepanjang Pasifik bagian khatulistiwa.”

Kondisi ini, kata NASA, kemudian dapat merambat ke arah kutub di sepanjang pantai barat Amerika. Menariknya, efek fenomena ini berbeda di beberapa belahan dunia.

“El Nino dapat menyebabkan kondisi yang lebih basah di wilayah barat daya AS dan kekeringan di wilayah Pasifik bagian barat, termasuk Indonesia,” ungkap NASA.

El Nino 2023 sendiri mulai terpantau secara signifikan pada Juli dan masih terus berkembang hingga kini.

Berdasarkan data terbaru Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi El Nino saat ini masih masuk level moderat. Hal ini ditunjukkan oleh Southern Oscillation Index (SOI) yang mencapai -8.1, dan Indeks NINO 3.4 +1.50.

“El Nino tahun ini masih terus berkembang, namun para peneliti masih melihat ke masa lalu untuk mendapatkan petunjuk bagaimana hal tersebut terjadi,” menurut NASA.

“Peristiwa ini tampaknya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa besar lainnya, namun peristiwa ini masih dapat menyebabkan musim dingin yang basah di sini, di wilayah Barat Daya AS, jika kondisinya memungkinkan,” ujarnya.

Riwayat El Nino ekstrem

Berdasarkan data NASA, dalam 30 tahun terakhir terdapat dua peristiwa El Nino ekstrem. Yang pertama pada 1997 hingga 1998, dan yang kedua pada 2015 hingga 2016.

“Keduanya menyebabkan perubahan suhu udara dan lautan global, pola angin, dan curah hujan di atmosfer, serta permukaan laut.”

Dalam dua El Nino ekstrem itu, NASA menggunakan satelit berbeda untuk melakukan pemantauan. Yakni, satelit TOPEX/Poseidon buat fenomena pada 1997, dan satelit Jason-2 pada 2015.

Sementara, tahun ini pemantauan El Nino dilakukan via satelit Sentinel-6 Michael Freilich.

Salah satu hasilnya adalah perubahan pola ketinggian lautan, baik itu di atas rata-rata maupun di bawah rata-rata, di Pasifik saat El Nino berlangsung.

Rinciannya, Oktober 1997 dan 2015, sebagian besar wilayah Pasifik tengah dan timur memiliki permukaan laut lebih tinggi 7 inci (18 sentimeter) dari biasanya.

Pada 2023, permukaan air laut sekitar 2 atau 3 inci (5 hingga 8 sentimeter) lebih tinggi dari rata-rata dan wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan El Nino 1997 dan 2015.

“Kedua El Niño di masa lalu (1997 dan 2015) mencapai kekuatan puncaknya pada akhir November atau awal Desember, sehingga kejadian tahun ini mungkin masih akan semakin intensif,” tandas NASA.

[Gambas:Video CNN]

(rfi/arh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *