Jakarta, CNN Indonesia —
Meski berada di wilayah dengan langit malam paling cerah se-Indonesia, Observatorium Nasional Timau, Nusa Tengggara Timur (NTT), punya peluang terancam polusi cahaya dari dua sisi di masa depan.
Hal itu berdasarkan penelitian pengukuran cahaya buatan oleh Pusat Riset Antariksa (PRA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Lokasi Obnas Timau yang menempati area seluas 34 hektare, pada Juni dan Juli, yang diungkap dalam Kolokium Mingguan PRA BRIN, Selasa (26/9).
Obnas Timau ini sendiri terletak di Amfoang di Gunung Timau yang dipilih karena beberapa keistimewaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Spesifikasi teleskop di Observatorium Nasional Timau. (Foto: www.brin.go.id)
Yakni, wilayah ini jadi yang paling kering di Indonesia, daerahnya masih minim polusi cahaya, dan tempatnya dekat dengan khatulistiwa yang memungkinkannya bisa mengamati belahan langit utara dan langit selatan sekaligus.
Observatorium Timau pun diharapkan selesai tahun ini dan mulai digunakan untuk riset astronomi optik tahun depan.
Masalahnya, kata Peneliti Ahli Utama PRA BRIN Clara Yono Yatini, ada ancaman nyata berupa polusi cahaya. Padahal, dia berharap teleskop optik berukuran 3,8 meter tersebut bisa digunakan hingga 50 hingga 100 tahun mendatang.
“Kami melihat bahwa sebetulnya ancaman terhadap lingkungan Obsnas ini nyata, sehingga kita perlu menjaga segala kemungkinan yang membuat munculnya polusi cahaya di sekitar Obsnas. Untuk itu dilakukan pengukuran sky brightness (kecerlangan langit),” katanya, dikutip dari situs BRIN.
Menurutnya, polusi cahaya ini bakal mengganggu hasil pengamatan observatorium hingga wisata langit gelap. Padahal, observatorium ini dibangun dengan investasi yang cukup besar.
“Dengan adanya polusi cahaya ini dapat memengaruhi lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan naiknya kebutuhan energi. Akibatnya, terjadi penurunan ‘sky brightness’ (kecerlangan langit) atau hilangnya langit berbintang untuk rekreasi,” kata Clara.
Ia menuturkan langit gelap tanpa polusi cahaya berguna pula buat astrotourism atau wisata astronomi. Cabang wisata lingkungan atau ekowisata ini biasanya dilakukan lewat pemantauan benda-benda langit saat malam hari bersama-sama.
“Taman langit gelap adalah daerah yang memiliki kualitas malam berbintang dan lingkungan malam yang luar biasa atau istimewa, dan secara khusus dilindungi karena sebuah warisan ilmu pengetahuan, alam, pendidikan, dan budayanya,” jelas Clara.
Pengukuran
Pengamatan pun dilakukan di sejumlah titik di Timau pada fase bulan tua dan nihil cahaya senja atau fajar, yakni 16-19 Juni dan 15-17 Juli pukul 19.00-02.00 WITA.
Titik-titik pengamatan itu ada di Desa Faumes, Desa Honuk, Desa Oelfatu, Desa Kolabe, Desa Fatunaus, Desa Naikliu, Desa Afoan, Desa Bitobe, Desa Bonmuti, Desa Binafun, Desa Fatumonas, Desa Lelogama, Desa Leloboko, Desa Oelbanu, Desa Bakoein, Desa Maunana, dan Desa Matpunu.
“Jadi ada sekitar 32 titik pengamatan,” ucap dia.
Beberapa peralatan yang digunakan untuk mengukur sky brightness adalah SQM LU-DL Unihedron, Sky Quality Meter.
Kecerlangan langit diukur dalam satuan mag/arcsec. Ukuran 1 mag/arcsec lebih kecil berarti ada cahaya yang ditangkap sebesar 2,5 kali lebih terang.
Pengukuran terutama dilakukan dengan mempertimbangkan cahaya lampu listrik dan tak memasukkan variabel lampu kendaraan bermotor.
“Pengukuran dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Data-data ‘ekstrem’ (karena ada cahaya lampu mobil atau sepeda motor) dihilangkan, kemudian dirata-ratakan,” jelas Clara.
Hasilnya menunjukkan wilayah sekitar Obsnas memang masih gelap. Namun, ada potensi ancaman polusi cahaya dari dua wilayah, yakni arah barat laut (pelabuhan) dan tenggara (permukiman).
Polusi cahaya dari arah permukiman di sekitar Obsnas terkait dengan masuknya listrik ke wilayah mereka.
Clara pun menyarankan pembatasan penggunaan lampu di luar rumah. Jika diperlukan penerangan di luar rumah, ia menyodorkan solusi berupa lampu bertudung.
“Langit gelap adalah salah satu sumber daya. Jika taman langit malam di Timau bisa terwujud, itu akan sangat penting untuk perlindungan dan edukasi,” ucap dia.
Pihak BRIN menyebut sudah berdiskusi dengan pemerintah daerah terkait polusi cahaya ini. Namun, belum ada keputusan konkret dari daerah.
“Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan pemerintah, pemerintah daerah tidak keberatan membuat aturan tentang wilayah mana yang harus dilindungi,” ujar Clara.
“Tetapi memang mereka tetap menunggu aturan yang ada dari pemerintah pusat sehingga mereka mengacu ke situ, dan ini yang perlu dibuat juga oleh BRIN,” tandasnya.
[Gambas:Video CNN]
(tim/arh)